PEMBUATAN CHITOSAN DARI KULIT UDANG DAN APLIKASINYA UNTUK PENGAWETAN BAKSO

PEMBUATAN CHITOSAN DARI KULIT UDANG
DAN APLIKASINYA UNTUK PENGAWETAN BAKSO

Ratna Adi wardaniati (L2C306047), Sugiyani Setyaningsih (L2C306056)
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Undip
Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Tembalang Semarang 50239
Telp. (024) 7460058 e-mail ; tkundip@telkom net
Dosen Pembimbing : Ir. Dwi Rahadi
Abstraks
Chitosan adalah modifikasi dari senyawa chitin yang banyak terdapat dalam kulit luar
hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting. Khasiat kitosan sebagai bahan
antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri tampaknya menjadikan
kitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Daya hambat khitosan terhadap
bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan. Tujuan diadakan penelitian ini
adalah untuk mengetahui lama waktu pengawetan bakso dengan menggunakan chitosan,
mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan bakso serta
mengetahui pengaruh Chitosan terhadap sifat fisis bakso baik dari segi citarasa maupun
penampakannya.Percobaan dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan
chitosan dari kulit udang, dengan konsentrasi NaOH 20%W. Tahap kedua adalah tahap
aplikasi penambahan chitosan pada bakso dengan memvariasikan konsentrasi chitosan.
Konsentrasi chitosan dalam pelarut asam asetat adalah 0,5%, 1%, 1,5%, 2% dengan
variabel waktu perendaman bakso dalam larutan chitosan 15, 30, 45, dan 60 menit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi chitosan yang optimal untuk digunakan sebagai
bahan pengawet bakso ialah sebesar 1,5 % dengan masa simpan 3 hari dan waktu
perendaman chitosan yang optimal adalah 60 menit.
Kata kunci : chitosan; pengawet; bakso
Abstract
Chitosan is the modification of chitin, which found on the outer skin of Crustacea species such
as shrimps and crabs. The tipycal quality of chitosan as antybacteria with the ability to
immobilize bacteria it might caused chitosan used to be food preservation. The ability to
obstruct bacteria depend on chitosan concentration. The aims of this research were knowing
how long this food preservative used chitosan would be defence in meat ball ‘bakso’, knowing
the optimal concentration of chitosan for meat ball preservation and knowing the effect of
chitosan in meat ball physics, taste, also their performance. This experiments were done in two
steps. The first step was the production of chitosan from shrimp skins, which the NaOH
concentration was 20%W. The second step was the application of chitosan that had to be added
to bakso with different concentration. Chitosan concentration in acetic acid solvent were 0,5%,
1%, 1,5%, 2, with soaking time variable 15, 30, 45, dan 60 minute. The experiments result
indicated that the optimum concentration of chitosan to preserves bakso was 1,5 % for three
days store and the optimum soaking time of chitosan was 60 minute.
Keywords: chitosan; preservation; meat ball
1. Pendahuluan
Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi,
pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya. Atau dapat juga sebagai bahan yang dapat memberikan perlindungan
bahan pangan dari pembusukan. Menurut peraturan Meneteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi,
pengasaman atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk
perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut
adalah chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu produk samping (limbah) dari
pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total
berat udang. Kadar chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi chitosan
menghasilkan yield 15-20%.
Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Chitosan
mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan
amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang
lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung
dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama
pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama
dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan
dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil
terhadap udara, panas dan sebagainya.
Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi,
pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan
lain sebagainya.
Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam
anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk
memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan
mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi.
Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Chitin
bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke
dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu
chitosan.
Reaksi Pembentukan Chitosan dari Chitin :
C h iti n Chitosan
Gambar 1. Reaksi pembentukan chitosan dari chitin
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim
dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat khitosan
terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan khitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri
disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan
kapang.
Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul chitosan memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan cell bakteri kemudian teradsorbi membentuk
semacam layer (lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi
untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau
dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%)
hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relative lebih aman.
Kerusakan bahan pangan dapat diidentifikasi dengan beberapa cara, yang pertama adalah dengan Uji
organoleptik yaitu dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, keketanlan,
warna bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi
karena kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, dan lainlain.
Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh
mikroba atau hasil dari reaksi kimia. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan,
MPN, dan mikroskopis. Dari berbagai uji kerusakan pangan tersebut, beberapa uji yang dianggap cukup sederhana
untuk diterapkan di daerah-daerah dengan fasilitas peralatan yang sederhana, yaitu: Uji mikrobiologis, dengan
menghitung jumlah mikroba. (Siagian, 2002).
90-100°C
+ NaOH +
3
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti
amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak
memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Perubahan bau
menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5
koloni/cm2, di ikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika jumlah bakteri mencapai 107,5-8,0
koloni/cm2.
Pada penelitian ini kami mencoba untuk mengaplikasikan chitosan untuk pengawetan makanan terutama
pada bakso. Bakso merupakan produk makanan dengan kadar air yang tergolong tinggi yakni mencapai 52%. Masa
simpan bakso dalam kondisi normal penyimpanan hanya bisa bertahan 2 hari. Supaya mendapatkan bakso yang
memiliki masa simpan lebih lama serta mutu yang dapat dipertahankan diperlukan suatu bahan pengawet yang tidak
berbahaya bagi kesehatan manusia serta dapat mempertahankan aspek gizi yang terkandung di dalamnya.
Bakso merupakan daging yang dihaluskan dan ditambahkan dengan tepung sagu, dibentuk bulat-bulat baik
secara manual ataupun dengan menggunakan mesin pembuatan bakso dan dimasak dengan air panas untuk siap saji.
Bakso mempunyai daya terima cukup tinggi dalam masyarakat dan harganya relative murah. Ditinjau dari aspek
gizi, bakso merupakan makanan yang mempunyai kandungan protein hewani, mineral dan energi yang tinggi.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu pengawetan makanan dengan
menggunakan chitosan terutama pada bakso, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam
pengawetan bakso serta mengetahui pengaruh Chitosan terhadap sifat fisis bakso baik dari segi citarasa maupun
penampakannya.
2. Metode Penelitian
Percobaan dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan chitosan dari kulit udang, dimana
pada proses deasetilasi, suhu, waktu, dan perbandingan chitin dengan NaOH dibuat tetap. Tahap kedua adalah
aplikasi penambahan chitosan pada bakso dengan memvariasikan konsentrasi chitosan. Adapun gambar rangkaian
alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Rangkaian alat deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi
Bahan baku yang digunakan adalah kulit udang kering. Kulit udang tersebut dihancurkan hingga menjadi
serbuk. Kemudian dilakukan proses deproteinasi. Proses ini dilakukan pada suhu 75-80°C, dengan menggunakan
larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1 : 10 (gr serbuk/ml NaOH ) sambil diaduk
konstan selama 60 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest
sampai pH netral.
Proses ini dilanjutkan dengan proses demineralisasi pada suhu 25-30°C dengan menggunakan larutan HCl
2 M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1 : 10 (gr serbuk/ml HCl ) sambil diaduk konstan selama
120 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral.
Hasil dari proses ini disebut chitin.
Chitin kemudian dimasukkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 20%W pada suhu 90-100°C sambil
diaduk konstan selama 60 menit pada proses deasetilasi. Hasil yang berupa slurry disaring, lalu dicuci dengan
aquadest sampai pH netral lalu dikeringkan. Hasil yang diperoleh disebut chitosan.
Kemudian dilanjutkan dengan tahap aplikasi chitosan sebagai pengawet bakso. Serbuk chitosan sebanyak
0,5; 1; 1,5; 2 gr ditambah dengan 100 ml larutan asam asetat 1%. Campuran diaduk selama 1 jam, lalu disaring.
Bahan untuk aplikasi yaitu bakso. Bakso dibuat dengan komposisi daging 80% dan aci 20%. Aplikasi dilakukan
dengan cara merendam bakso pada larutan chitosan dengan variabel waktu 15, 30, 45, dan 60 menit dalam wadah
yang berbeda. Campuran diaduk selama 1 jam, lalu disaring. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 4 hari
berturut-turut.
3. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa bakso yang direndam dalam wadah yang berbeda selama variabel
waktu 15, 30, 45, 60 menit dan variabel konsentrasi chitosan dalam pelarut asam asetat 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, setelah
Keterangan :
1. Statif dan klem
2. Termometer
3. Beaker glass
4. Magnetic Stirrer dan pemanas
4
3 hari dilihat dari kondisi fisiknya, tekstur bakso masih bagus, masih kenyal dan bau dagingnya masih terasa.
Penampakan bakso terlihat lebih baik dan kenyal. Bakso yang direndam dengan chitosan, memiliki citarasa yang
tidak berbeda dengan bakso yang tidak direndam dengan chitosan. Jadi, chitosan tidak mengubah citarasa bakso.
Tabel 1. Pengamatan bakso yang telah ditambah chitosan
Konsentrasi 15’ 30’ 45’ 60’
chitosan
(gr)
Hari
ke- Bau Tekstur Bau Tekstur Bau Tekstur Bau Tekstur
1 + + + + + + + +
2 + + + + + + + +
3 + + - + + - + + - + +
4 - - - - - - - -
0.5
1 + + + + + + + +
2 + + + + + + + +
3 + +- + +- + +- + +
4 - - - - - - - -
1
1 + + + + + + + +
2 + + + + + + + +
3 + + - + + - + + - + +
4 - - - - - - - -
1.5
1 + + + + + + + +
2 + + + + + + + +
3 + + - + + - + + - + +
4 - - - - - - - -
2
Keterangan :
+ : Bakso masih berbau daging, teksturnya masih bagus, kenyal.
+ - : Bakso masih berbau daging, namun teksturnya sudah mulai lembek dan mulai ditumbuhi jamur.
- : Bakso sudah berbau busuk, teksturnya lembek, dan sudah penuh jamur.
Bakso yang disimpan pada suhu kamar pada hari ke 2 tanpa menggunakan larutan chitosan telah
mengandung = total mikroba 1.3 x 107 koloni mikroba/gr. Sedangkan bakso setelah di rendam dengan larutan
chitosan 0.5% pada hari ke-3 rata-rata telah mengandung 5,8x106 koloni mikroba/gr, pada bakso setelah di rendam
dengan larutan chitosan 1% pada hari ke-3 rata-rata telah mengandung 3.5x106 koloni mikroba/gr, bakso setelah di
rendam dengan larutan chitosan 1.5% pada hari ke-3 rata-rata telah mengandung 2,8x106 koloni mikroba/gr, bakso
setelah di rendam dengan larutan chitosan 2% pada hari ke-3 rata-rata telah mengandung 3.1x106 koloni mikroba/gr.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 10 20 30 40 50 60 70
w aktu perendaman bakso pada chitosan (menit)
jum la h k o lo n i m ik r o b a /g r
konsentrasi chitosan 0,5%
konsentrasi chitosan1%
konsentrasi chitosan 1,5%
konsentrasi chitosan 2%
Grafik 1. Hubungan waktu perendaman bakso pada
chitosan vs jumlah koloni mikroba/gr
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0,5 1 1,5 2 2,5
konsentrasi Chitosan (%)
J umlah k oloni mik ro ba/g r
perendaman 15 menit
perendaman 30 menit
perendaman 45 menit
perendaman 60 menit
Grafik 2. Hubungan Konsentrasi chitosan vs jumlah
koloni mikroba/gr
5
Ditinjau dari lamanya waktu perendaman, semakin lama waktu perendaman bakso dalam chitosan, bakso
semakin awet. Hal ini ditunjukkan pada grafik 1. dimana jumlah rata-rata koloni mikroba/gr bakso pada perendaman
60 menit, paling sedikit.
Dilihat dari konsentrasi chitosan, hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi chitosan yang optimal
untuk digunakan sebagai bahan pengawet bakso adalah sebesar 1,5% dengan masa simpan selama 3 hari. Hal ini
ditunjukkan pada grafik 2. dimana jumlah rata-rata koloni mikroba/gr bakso pada konsentrasi 1,5%, paling sedikit.
4. Kesimpulan
1. Chitosan dapat memperpanjang umur penyimpanan bakso hingga 3 hari.
2. Konsentrasi chitosan yang paling optimal untuk digunakan sebagai pengawet bakso adalah 1,5%.
3. Chitosan tidak menyebabkan perubahan citarasa bakso, dan membuat bakso terlihat lebih kesat.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ir. Dwi Rahadi selaku pembimbing
penelitian, Dr. Ir. Abdullah, MS. selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP, staf laboratorium
penelitian Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP, serta semua pihak yang telah membantu selama
penelitian ini berlangsung.
Daftar Pustaka
Cahyadi, W. 2006. ”Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan”. Bumi Aksara : Jakarta.
Hanafi, Muhammad, Syahrul Aiman, Efriana D., B. Suwandi. ” Pemanfaatan Kulit Udang untuk Pembuatan
Kitosan dan Glukosamin”. LIPI kawasan PUSPITEK, Serpong.
Linawati, H. 2006. ”Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin”. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIK-IPB).
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/07/085109.htm
Nuri, A. 2006. ”Bagaimana Memilih Bakso”. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.
Siagian, Albiner. 2002. ”Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya”. USU digital Library :
Sumatera Utara.