Microsporidiasis (Cotton Shrimp Disease)

Microsporidiasis (Cotton Shrimp Disease)

Cause: The Microsporidia of the genera Thelohania, Nosema and Peistophora

Bio - Ecology Pathogens
• Named as cotton shrimp disease and / or shrimp milk.
• Having more than 8 spores in each capsule
• Virtually all penaeid shrimp species was reported the least susceptible to infection one type of parasite microsporidia group, although there are indications of specific local

• low pathogenicity, prevalence rates in a population generally not more than 5% and the resulting mortality was also relatively low


Clinical symptoms:
• Parts of the body of infected shrimp white milk and more soft
• white spores spread on the meat / muscle (internal parasites)
• Shrimp weak, easy to stress, decreased appetite, making it easy prey to predators sluggish, and easily die after handling (handling)

Diagnosis:
• Visual observation of behavior and clinical symptoms are quite clear
• Microscopic observation to see the morphology of microsporidia by making preparations for review of target organ infection. The observation that more clear on the characteristics of spores required specific staining.

Control:
• disinfection, drying of pond bottom and water sources that are free of microsporidia
• Shrimp are infected immediately destroyed, in order to reduce the potential for horizontal transmission
• To cut the parasite's life cycle, avoiding the feeding of trash fish infected with microsporidia
• No chemicals are effective for preventing and / or treat diseases microsporidiasis.

source : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, 2010

Ikan Gabus Bahan Dasar Pempek Sudah Dapat Dibudidayakan

Ikan Gabus Bahan Dasar Pempek Sudah Dapat Dibudidayakan PDF Print E-mail

Siapa yang tidak kenal dengan Pempek. Makanan khas Sumatera Selatan yang sangat terkenal. Tidak lengkap rasanya berkunjung ke Palembang, ibukota Sumatera Selatan, jika pulang tidak membawa oleh-oleh pempek. Pempek sebenarnya bahan dasarnya adalah segala jenis ikan yang kemudidan digiling halus untuk dijadikan adonan. Bahan dasarnya yang sering digunakan adalah ikan belida. Namun dengan semakin menipisnya stok belida di pasaran maka sekarang para pembuat pempek beralih ke ikan gabus. Pertimbangannya karena ikan gabus masih dapat ditemui di pasaran, dagingnya putih bersih dan rasanya enak. Jadi tidaklah salah kalau kemudian ikan gabus menjadi pengganti ikan belida sebagai bahan dasar dalam pembuatan pempek.

Ikan gabus sendiri adalah ikan asli dari perairan Indonesia yang sering terdapat di sungai, rawa-rawa, waduk dan perairan lainnya yang airnya relatif tenang. Ikan gabus sebetulny sangat meresahkan para pembudidaya ikan karena ia termasuk dalam kategori ikan predator atau pemakan ikan lainnya. Namun seiring dengan semakin banyaknya permintaan akan ikan gabus maka mulai banyak dikembangkan oleh para pembudidaya terutama didaerah kalimantan yang notabene perairannya sangat cocok untuk budidaya ikan gabus ini.

Secara morfologi ikan gabus adalah ikan air tawar yang cukup besar, tenang tapi lincah dan memiliki pertumbuhan yang dapat mencapai panjang 1 m. Kepalanya besar gepeng menyerupai ular dan memiliki sisik-sisik besar di atas kepala dengan tubuh bulatgilig memanjang. Sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di ujungnya dan mempunyai 4-5 sisik diantara gurat sisi dan bagian jari-jari sirip punggung bagian depan. Sisi atas tubuh dari kepala hingga ke ekor– berwarna gelap, hitam kecoklatan atau kehijauan. Sisi bawah tubuh putih, mulai dagu ke belakang. Sisi samping bercoret-coret tebal yang agak kabur. Warna ini seringkali menyerupai lingkungan sekitarnya. Mulut besar, dengan gigi-gigi besar, tajam dan tidak ada gigi bentuk taring pada vomer dan palatine. Ikan gabus memiliki bentuk ekor Diphycercal.

Ikan gabus memiliki banyak nama lain, yaitu aruan, haruan, kocolan, bogo, bayong, bogo, licingan, kutuk, dan lain-lain. Secara taksonomi ikan gabus masuk dalam famili chanidae. Berikut lengkapnya :

  • Kerajaan : Animalia
  • Filum : Chordata
  • Kelas : Actinopterygii
  • Ordo : Perciformes
  • Famili : Channidae
  • Genus : Channa
  • Spesies : C. striata

Perbedaan antara ikan gabus jantan dan betina dapat dililhat dari bentuk tubuhnya. Selengkap dapat dilihat pada tabel berikut :

Teknik budidaya ikan gabus sendiri tidaklah sulit. Balai Besar Budidaya Air tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan telah berhasil membudidayakan ikan gabus yang disana dikenal dengan nama ikan haruan. Pertama yang harus dilakukan adalah menyediakan induk jantan yang sudah berbobot 1 kg dan induk betina. Pemijahan dilakukan di bak beton dengan ukuran 5 m, lebar 3 m dan tinggi 1 m kemudidan keringkan air selama 3 – 4 hari. Setelah dikeringkan 3 – 4 hari masukkan air setinggi 50 cm dan biarkan airnya mengalir selama waktu pemijahan. Masukkan enceng gondok hingga menutupi sebagian permukaan bak untuk merangsang pemijahan. Kemudian masukkan induk jantan dan betina sebanyak masing-masing 30 ekor dan biarkan terjadi pemijahan. Lakukan pengontrolan setiap hari untuk mengetahui apakah telah terjadi pemijahan atau belum. Pemijahan telah terjadi jika ada telur yang mengapung di permukaan. Ambil telur menggunakan skupnet halus. Penetasan telur dilakukan di akuarium dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm. Keringkan air dalam bak beton selama 2 hari kemudian isi air setinggi 40 cm. Pasang duah buah aerasi dan selalu hidupkan selama pemijahan. Pasang juga pemanas air hingga bersuhu 28 derajat celcius. Telur dimasukkan dengan kepadatan 4 – 6 butir/cm. Telur akan menetas selama 24 jam. Larva mulai diberi pakan berupa nauplii artemia ketika telah berumur 2 hari dengan frekuensi 3 kali sehari. Setelah umur 5 hari diberikan pakan tambahan berupa daphnia 3 kali sehari. Penyiponan dilakukan untuk menjaga kebersihan dan kualitas air. Pendederan dilakukan di kolam tanah denga ukuran 200 m2. Keringkan kolam selama 4 – 5 hari. Buat kemalir dengan ukuran lebar 40 cm dan tinggi 10 cm. Ratakan dasar kolam dan diberi kotoran ayam. Isi air setinggi 40 cm dan biarkan selama 5 hari. Kemudian tebarkan larva sebanyak 4000 ekor pada pagi hari. Untuk mengetahui lebih lengkapnya tentang cara budidaya ikan gabus dapat berkonsultasi dengan Balai Besar Budidaya Air Tawar Mandiangin Kalimantan Selatan yang alamat kontaknya dapat dilihat di halaman ”UPT” pada website ini.

Pengembangan budidaya ikan gabus ini sangat menjanjikan karena selain untuk memenuhi permintaan warung-warung makan dan konsumsi rumah tangga, ikan ini sekarang sudah mulai dijadikan bahan dasar dalam pembuatan pempek palembang yang sangat terkenal itu dikarenakan ikan belida yang selama ini menjadi bahan dasar pembuatan pempek sudah mulai berkurang. Permintaan ikan gabus akan meningkat dengan telah tersedia pasar untuk menjual ikan gabus ini.

sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id

Myxosporidiasis (Penyakit Gembil)

Myxosporidiasis (Penyakit Gembil)

Penyebab : Myxosporea dari genera Myxobolus, Myxosoma, Thelohanellus, dan Henneguya


Bio — Ekologi Patogen :
• Myxosporea berbentuk seperti buah pir atau biji semangka
(kwaci), terbungkus dalam kista yang berisi ribuan spora.
• Memiliki vakuola yang disebut vakuola iodinophilous yang menjadi pembeda dua genera Myxosporea, yaitu Myxosoma (tanpa vakuola iodinophilous) dan Myxobolus (dengan vakuola iodinophilous).
• Spora yang dimakan oleh inang dan masuk ke dalam usus akan pecah mengeluarkan sporoplasma, dan bergerak secara amoeboid masuk dalam sirkulasi darah dan terbawa ke organ target infeksi,

• Inang umumnya jenis-jenis ikan dari kelompok cyprinidae, labirinth dan salmonidae. Di Indonesia, jenis ikan yang sering terinfeksi myxosporea antara lain benih ikan mas, tawes, sepat. gurame dan tambakan.
• Prevalensi serangan bervariasi dari rendah sampai sedang dengan mortalitas berpola kronis

Gejala Klinis :
• Menginfeksi jaringan ikat tapis insang, tulang kartilag, otot/daging, dan beberapa organ dalam ikan (terutama benih).
• Terlihat benjolan putih seperti tumor berbentuk bulat-lonjong menyerupai butiran padi pada insang ikan
• Pada infeksi berat. tutup insang (operkulum) tidak dapat
menutup sempurna. sirip ekor bengkok dan berwarna gelap
• Bengkak-bengkak/gembil di bagian tubuh (kanan/kiri), struktur tulang yang tidak normal
• Berenang tidak normal. berdiam di dasar dan akhirnya mati.

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang cukup jelas
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi myxosporidia melalui pembuatan preparat ulas dari organ target infeksi. Pengamatan yang lebih jelas terhadap karakteristik spora diperlukan pewarnaan yang spesifik.


Pengendalian :
• Persiapan kolam (pengeringan dan desinfeksi kolam) untuk memutus siklus hidup parasit.
• Ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
• Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi parasit
• Pengendapan yang dilengkapi dengan filtrasi fisik (batu, ijuk, kerikil dan pasir)
• Belum ada bahan kimia yang efektif untuk mengobati penyakit ini.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

Arwana si Ikan Naga (Dragon Fish)

Arwana si Ikan Naga (Dragon Fish) PDF Print E-mail

Ikan arwana termasuk salah satu primadona ikan hias. Ikan ini bagi sebagian orang terutama orang tionghoa dianggap sebagai pembawa hoki atau keberuntungan bagi yang memilikinya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika ikan ini memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi di pasar ikan hias. Harganya bisa mencapai jutaan bergantung pada keelokan dan keindahan warnanya. Semakin indah dan elok maka semakin mahal harganya.

Ikan arwana masuk dalam kategori satwa langka yang dilindungi di Indonesia. Arwana juga digolongkan dalam kategori ikan primitive dan diyakini sebagai ikan purbakala yang telah berevolusi selama lebih dari 10 juta tahun yang lalu. Fosil-fosil yang ditemukan dan mirip dengan ikan arwana ditemukan diberbagai tempat dan diduga berumur berkisar antara 10 – 60 juta tahun yang lalu. Hal ini membuktikan bahwa ikan arwana berumur panjang dan tidak punah dengan perubahan zaman ke zaman.

Ikan arwana memiliki banyak nama lain antara lain ikan naga, siluk, barramundi, kayangan, peyang dan lain-lain. Secara taksononomi ikan arwana masuk dalam kategori famili ikan “karuhun” yaitu Osteoglasidae atau famili ikan lidah bertulang (bony-tongue) dikarenakan bagian dasar mulutnya berupa tulang yang digunakan sebagai gigi.

Berikut Klasifikasi Ilmiah Ikan Arwana :

  • Kerajaan : Animalia
  • Filum : Chordata
  • Kelas : Actinopterygii
  • Ordo : Osteoglossiformes
  • Famili : Osteoglossidae
  • Genus : Scleropages

Ikan arwana termasuk golongan karnivora bersifat predator, memiliki tubuh yang memanjang, ramping dan “stream line”. Letak sirip dubur berada jauh di belakang badan. Bentuk tubuh dengan penampilan yang cantik, unik dan memiliki warna yang sangat mengagumkan. Variasi warna tubuhnya mulai dari warna hijau, perak dan merah. Sisiknya besar dengan susunan yang harmonis menambah keindahan ikan tersebut. Sungut yang berfungsi sebagai sensor getaran untuk mengetahui posisi mangsanya terletak di bagian mulutnya yang berjumlah dua buah. Sungut tersebut merupakan salah satu kriteria penilaian tentang keindahan seekor ikan arwana. Bentuk mulut arowana mengarah ke atas. Ukuran mulutnya lebar dan rahangnya cukup kokoh. Giginya berjumlah 15-17 buah.

Ikan arwana merupakan salah satu ikan hias dengan ukuran besar. Panjang arwana dewasa sangat bervariasi, antara 30-80cm. Dalam akuarium ikan arwana mencapai panjang 60 cm, sementara di alam ikan arwana dapat berkembang sampai mencapai panjang 90 cm. Untuk jenis tertentu seperti ikan arwana yang berasal dari amerika selatan dapat mencapai ukuran hingga 270 cm. Untuk itulah, tidak semua orang senang memeliharanya karena membutuhkan tempat yang sangat besar berbeda dengan beberapa ikan hias lain yang berukuran mini.

Ikan arwana termasuk ikan dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Ikan arwana termasuk dalam kategori sebagai predator karena itu dapat memakan ikan-ikan yang lebih kecil darinya dan memiliki tubuh memanjang, lunak & tidak berduri. Makanan yang sering diberikan untuk arwana antara lain adalah serangga, jangkrik, udang tawar, kodok, kelabang, kadal, belalang, ulat dan cicak. Ikan arwana pada dasarnya bukan ikan pemilih dalam hal makanan. Ikan ini memakan segala jenis pakan untuk ikan karnivora tapi dalam keadaan tertentu hanya menyukai salah satu jenis pakan saja.

Membedakan ikan arwana jantan dan betina memang agak sulit dilakukan tapi masih mungkin dibedakan secara visual dengan melihat bentuk mulut, bentuk pipi dan bentuk tubuhnya. Secara detail dapat dilihat pada tabel berikut :

Menurut Allen et. al. (2000 dalam [2]), arowana hidup di sungai dengan dasar berbatu-batu, danau, rawa dan perairan umum yang berarus sedang atau lambat. Mampu hidup di perairan yang sedikit asam (pH 4-6). Pada fase perkembangbiakan, arowana mempunyai kebiasaan menjaga anaknya dalam mulut (mouth breeder). Fekunditas ikan ini berkisar antara 20-60 butir telur yang erat kaitan dengan umur ikan. Pengeraman telur dan mengasuh anak berlangsung antara 1-2 bulan. Anakan arowana mempunyai kuning telur yang akan diserap sebagai makanan dalam waktu 1 bulan sampai ukuran 6-7 cm, setelah itu dilepas induknya karena dianggap sudah dapat mencari mangsa sendiri. Arowana dewasa dikenal hidup menyendiri dan agresif menyerang untuk berkelahi. Arowana aktif berenang di permukaan air pada malam hari untuk mencari mangsa, sedangkan pada siang hari cenderung tinggal di dasar perairan.

Habitat ikan arwana sendiri, pada tepian sungai yang ditumbuhi pepohonan yang memiliki akar dasar sungai tetapi dedaunannya rimbun. Karena itu, ikan ini banyak ditemui di Kalimantan Barat, tepatnya banyak dijumpai di Kabupaten Kapuas Hulu Kecamatan Slimbau, di daerah banjiran yang banyak hutan rawang dan dasar tanahnya berkapur dan dapat juga di jumpai di Sumatera Selatan di daerah rawa banjiran yang dasar tanahnya bergambut.

Jenis-jenis ikan arwana antara lain adalah arwana merah dengan 4 varietasnya (Merah darah, merah cabai, merah orange, dan merah emas), arwana golden, arwana hijau, arwana banjar dan arwana jardini. Jenis arwana yang saat ini berkembang di Indonesia ada empat jenis, yaitu Arwana Super Red, Arwana Golden, Arwana Jardini/Arwana Perak.

Saat ini ikan arwana sudah dapat dibudidayakan. Walaupun dalam membudidayakannya harus sangat hati-hati. Keadaan air yang tidak baik sedikit saja dapat menyebabkan ikan arwana mati. Ketersediaan oksigen juga perlu diperhatikan karena dapat juga menyebabkan kematian karena itu aerator harus selalu berfungsi dengan baik dan selalu sediakan aki sebagai cadangan jika listrik padam. Diketahui bahwa perkembangan budidaya ikan hias arwana sangat menjanjikan. Beberapa daerah yang sudah dapat membudidayakan ikan arwana antara lain, daerah kalimantan barat, jawa barat seperti bandung dan cianjur dan sumatera. Beberapa pusat penelitian perikanan telah melakukan penelitian terhadap ikan ini yaitu Balai Besar Air Tawat Jambi dan Pusat Riset di Bogor.

Perdagangan ikan hias pun sangat menjanjikan termasuk di dalamnya ikan hias arwana. Tujuan perdagangan ikan hias arwana terutama ke negara singapura, taiwan, jepang, hongkong dan korea. Jika di lihat dari daerah tujuannya memang dapat disimpulkan bahwa yang membeli adalah negara yang ada etnis tionghoanya, yang mereka masih mempercayai bahwa ikan arwana sebagai pembawa keberuntungan.

sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id


Budidaya Ikan Arwana

Budidaya Ikan Arwana PDF Print E-mail

Teknik budidaya ikan arwana sendiri sebenarnya tidaklah sulit hanya saja memang dibutuhkan ketelitian dan ketekunan yang tinggi karena ikan arwana harus selalu dijaga kondisi air, oksigen dan pakannya. Ikan ini dapat dikembangbiakkan di wadah budidaya seperti akuarium atau kolam.

Kualitas air yang selalu terjaga baik menjadi tuntutan dalam budidaya ikan ini. PH air untuk budidaya arwana sebenarnya sangat lebar tapi lebih disarankan untuk memudahkan pemeliharaannya PH airnya disesuaikan dengan kondisi air pada kondisi sebenarnya di alam yaitu PH 6,8 – 7,5 dan suhu 27 – 29 C. Sedangkan penggantian air untuk menjaga kualitas air, dilakukan sebanyak 30 – 34 % dari total volume dengan air deklorinisasi. Penggantian air perlu dilakukan apalagi jika kondisi setelah hujan karena air hujan dapat mengakibatkan perubahan mendadak pada kualitas air.

Pemberian pakan pada arwana sebaiknya diberikan pakan bervariasi yang mengandung protein sangat tinggi. Pakan untuk induk arwana dapat diberikan berupa ikan/udang rucah ditambah dengan pellet dengan kadar protein 32 %. Pemberian pakan ini dilakukan setiap hari dengan ketentuan 2% dari berat total tubuhnya.

Kematangan gonad akan terjadi pada saat umur ikan arwana berumur 4 tahun dan sudah mencapai panjang 45 – 60 cm. Pemijahan akan terjadi sepanjang tahun. Puncak pemijahan akan terjadi antara bulan Juli dan bulan Desember. Ketika telah terjadi pemijahan maka induk jantan akan menjaga telur tersebut di dalam mulutnya selama 2 bulan. Untuk melepaskan telur yang ada dalam mulut induk jantan arwana, tarik secara perlahan dan hati-hati bagian bawah mulut arwana kemudian tekan ringan bagian tubuhnya. Larva dikumpulkan untuk kemudian diinkubasi.

Masa inkubasi dengan cara ini lebih pendek dibandingkan dengan masa inkubasi normal yang dapat mencapai 8 minggu. Inkubasi dilakukan di dalam akuarium berukuran 45x45x90 cm dengan temperatur air 27 – 29 derajat celcius dan kadar oksigen terlarut 5 ppm. Untuk mencegah adanya infeksi pada saat penanganan larva dapat digunakan larutan Acriflavine 2 ppm. Selama periode inkubasi ini larva tidak perlu diberi pakan. Pakan larva sendiri didapat dari kuning telur yang akan habis pada minggu ke delapan. Setelah itu, larva harus diberi pakan hidup pertama untuk mencegah larva saling makan. Pada saat ini larva sudah dapat berenang bebas.

Pakan hidup yang diberikan bisa berupa cacing darah atau anakan ikan yang ukurannya sesuai dengan ukuran mulut ikan arwana tersebut. Ketika larva telah mencapai ukuran 10 – 12 cm diberikan pakan berupa udang air tawar kecil untuk mengimbangi kecepatan tumbuhnya.

sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id



Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara

Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara

Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestikasi dan pemuliaan untuk menghasilkan induk unggul. Program domestikasi adalah langkah atraktif yang harus ditempuh untuk menghasilkan benih unggul yang berasal dari induk unggul setelah perbaikan system budidaya tidak mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah penyakit. Meski lambat dimulai dibandingkan dengan vaname, proses domestikasi telah menghasilkan beberapa acuan baik dari sisi genetic engineering maupun pola seleksi konvensional untuk membuat sebuah broodstock center udang windu. Pada saat sekarang program seleksi telah mengasilkan generasi ke – 4, dengan masing – masing masa pemeliharaan selama 18 bulan untuk setiap generasi. Perbaikan kualitas utamanya kemampuan bereproduksi menjadi target perekayasaan untuk tahun – tahun mendatang. Perekayasan akan lebih difokuskan pada perbaikan nutrisi maupun kesesuaian media pemeliharaan termasuk penerapan biosekuriti yang lebih sempurna. Tujuan akhir dari proses domestikasi adalah induk bebas penyakit yang dapat mengasilkan benih yang dapat tumbuh cepat. Guna mengakselerasi pencapaian hasil telah terbentuk sebuah jaringan yang beranggotakan beberapa UPT Pusat DJPB (BBPBAP Jepara, BBAP Takalar, BBAP Ujung bate) yang didukung oleh Balai Riset Perikanan Budidaya (Gondol, Maros). Balai riset akan lebih banyak mendukung pada porsi engineering genetic termasuk mendapatkan gen marker untuk sifat tumbuh cepat serta trans genik untuk sifat WSSV resisten. Pada akhirnya hasil dari kegiaatan seleksi konvensional dan genetic engineering akan dipadukan untuk mendapatkan sebuah produk dengan kategori unggul.

Strategi pemuliaan


Calon induk windu F-4 yang dihasilkan saat ini berasal dari seleksi induvidu yang dimulai dari generasi I, II dan III. Populasi dasar yang digunakan adalah populasi yang berasal dari beberapa daerah penangkapan dengan keragaman genetik lebih tinggi. Dari beberapa populasi itulah, kemudian di”blending” untuk mendapatkan populasi dasar. Sejumlah proses termasuk kegiatan koleksi induk, karakterisasi dan inventarisasi sumber daya genetik dan koleksi kandidat terpilih dipertimbangkan untuk mendapatkan populasi dasar. Setidaknya terdapat lima sistem seleksi yang disepakati yakni seleksi individu, famili, super Health, Survivor dan Hibridisasi, namun baru seleksi individu yang dilaksanakan karena ketersediaan fasilitas yang masih dalam pembenahan.

Hasil Kegiatan

Pembesaran calon induk dari generasi pertama hingga ke 4 dilakukan di tambak dengan sistem berpindah. Secara keseluruhan lingkungan tambak yang digunakan dengan penerapan “farm level biosecurity” mampu mendukung sistem pemeliharaan terututama dalam hal mengeleminasi peluang masuknya organisme pathogen. Dari sisi pertumbuhan calon induk, sistem yang digunakan dapat mendorong tingkat pertumbuhan dengan rata – rata ADG sekitar 0.3 pada setiap generasi. Kualitas induk yang dihasilkan lewat proses domestikasi masih lebih rendah dari induk alam bila dibandingkan dengan tolok ukur respon terhadap ablasi, fekunditas serta daya tetas telurnya. Respon terhadap ablasi lebih lambat, terlihat dari jumlah hari yang dibutuhkan untuk matang gonad setelah ablasi. Fekunditas rata-rata per ekor induk berkisar 300.000 butir untuk ukuran induk 150 gram pada setiap generasi.


Gambar 1. Penampilan induk windu hasil domestikasi

Tidak adanya perbedaan fekunditas lebih disebabkan oleh penggunaan calon induk dengan berat tubuh sepadan. Daya tetas telur pada generasi ke dua dan ke tiga jauh lebih tingi dibandingkan dengan generasi pertama. Belum diketahui secara pasti apakah terdapat pengaruh generasi atau efek dari pengelolaan pakan ataupun lingkungan yang lebih baik.


Gambar 1. Daya tetas telur windu hasil domestikasi pada setiap generasi.

Terlihat hal yang berbeda cukup nyata pada hasil pemeliharaan larva hingga stadia PL-12. Peningkatan kelangsungan hidup larva dari telur yang dihasilkan terjadi pada setiap generasi. Pada penggunaan induk generasi I kelangsungan hidup larva tercatat hanya sekitar 10 %, dan meningkat menjadi 25% dan 55% pada penggunaan induk generasi ke dua dan tiga. Pengaruh seleksi juga terlihat dari pertumbuhan benih yang dhasilkan bila dibandingkan dengan benih non-seleksi.


(a) (b)

Gambar 2. Kelangsungan hidup larva dari induk hasil domestikasi yang terlihat meningkat setiap generasi (a); Perbandingan pertumbuhan benih dari induk non seleksi (NS) dan induk hasil domestikasi serta seleksi (S) pada 3 bulam pertama masa pemeliharaan di tambak (b).

Sumber : Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau - Jepara

Microsporidiasis (Cotton Shrimp Disease)

Microsporidiasis (Cotton Shrimp Disease)

Penyebab : Microsporidia dari genera Thelohania, Nosema dan Peistophora

Bio — Ekologi Patogen
• Disebut sebagai penyakit udang kapas dan/atau udang susu.
• Memiliki lebih dari 8 spora dalam tiap kapsul
• Hampir semua jenis udang penaeid dilaporkan paling sedikit rentan terhadap infeksi salah satu jenis dari parasit golongan microsporidia, meskipun ada indikasi lokal spesifik

• Patogenisitas rendah, tingkat prevalensi dalam satu populasi umumnya tidak lebih dari 5% dan mortalitas yang diakibatkannya juga relatif rendah


Gejala klinis :
• Bagian tubuh udang yang terinfeksi berwarna putih susu dan lebih lunak
• Spora yang berwarna putih menyebar di bagian daging/otot (internal parasite)
• Udang lemah, mudah stress, nafsu makan menurun, lamban sehingga mudah dimangsa predator, serta mudah mati setelah penanganan (handling)

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang cukup jelas
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi microsporidia melalui pembuatan preparat ulas dari organ target infeksi. Pengamatan yang lebih jelas terhadap karakteristik spora diperlukan pewarnaan yang spesifik.

Pengendalian :
• Desinfeksi, pengeringan dasar tambak dan sumber air yang bebas dari microsporidia
• Udang yang terinfeksi segera dimusnahkan, untuk mengurangi potensi penularan secara horizontal
• Untuk memotong siklus hidup parasit, hindari pemberian pakan berupa ikan rucah yang terinfeksi microsporidia
• Tidak ada bahan kimia yang efektif untuk mencegah dan/atau mengobati penyakit microsporidiasis.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, 2010

Filthy disease (fouling Disease)

Filthy disease (fouling Disease)

Cause: Zoothamnium spp., Epistylis spp., Vorticella spp.,. Acineta spp.


Bio - Ecology Pathogens
• Generally caused by microorganisms of the group
Protozoa, although often associated with algae
such as Nitzschia spp., Amphiprora spp., Navicula spp.,
Enteromorpha spp., Etc.

• Complex infection will interfere with the movement of microorganisms, especially shrimp larvae, difficulty eating, swimming, and the process of molting because gill organ and / or whole body filled with penempel organisms.

• Factors triggering the explosion of the disease, among others, high density, malnutrition, high levels of organic matter, and fluctuations in water quality parameters, especially temperature

Clinical Symptoms:
• Swim to the surface water and body-colored opaque / dirty
• Gills are infected with reddish or brownish color
• Weak, difficulty breathing and decreased appetite, finally dies
• The process of molting (moulting) are blocked, and the resulting inflammation of the skin

Diagnosis:
• Visual observation of behavior and clinical symptoms that arise
• Microscopic observation to see the morphology of organisms through the production of preparations penempel review of organ skin / mucus, fins and / or gills.


Control:

• Disinfection of containers / plot maintenance and sources of water that is free of microorganisms penempel)

• Improve overall water quality, particularly reducing the levels of dissolved organic material and / or increase the frequency of replacement of new water

• Giving immunostimulan element (eg addition of
vitamin C in feed) are routinely during maintenance

• Stimulate the process of molting through manipulation of water quality parameters which is a determinant factor

• Shrimp are attacked by "fouling disease" by the level of
low prevalence and intensity, treatment can
performed with several types of disinfectants, among others:
✓ Soaking in a solution of formalin at doses of 25-50
ppm for 24 hours or more

source: Ministry of Maritime Affairs and Fisheries Republic of Indonesia, Director General. Aquaculture, 2010

Penyakit Dekil (Fouling Disease)

Penyakit Dekil (Fouling Disease)

Penyebab : Zoothamnium spp., Epistylis spp., Vorticella spp.,. Acineta spp.


Bio — Ekologi Patogen
• Umumnya disebabkan oleh mikroorganisme dari kelompok
Protozoa, meskipun sering pula berasosiasi dengan algae
seperti Nitzschia spp., Amphiprora spp., Navicula spp.,
Enteromorpha spp., dll.

• Kompleks infeksi mikroorganisme tersebut akan mengganggu pergerakan udang terutama larva, kesulitan makan, berenang, serta proses molting karena organ insang dan/atau seluruh tubuh dipenuhi organisme penempel.

• Faktor pemicu terjadinya ledakan penyakit antara lain, kepadatan tinggi, malnutrisi, kadar bahan organik yang tinggi, dan fluktuasi parameter kualitas air terutama suhu

Gejala Klinis :
• Berenang ke permukaan air dan tubuhnya berwarna buram/kotor
• Insang yang terinfeksi berwarna kemerahan atau kecoklatan
• Lemah, kesulitan bernafas dan nafsu makan menurun, akhirnya mati
• Proses ganti kulit (moulting) terhambat, dan timbul peradangan pada kulit

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi organisme penempel melalui pembuatan preparat ulas dari organ kulit/mukus, sirip dan/atau insang.


Pengendalian:

• Desinfeksi wadah/petak pemeliharaan dan sumber air yang bebas mikroorganisme penempel)

• Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi penggantian air baru

• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan

• Merangsang proses ganti kulit melalui memanipulasi parameter kualitas air yang yang merupakan faktor determinan

• Udang yang terserang "fouling disease" dengan tingkat
prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat
dilakukan dengan beberapa jenis desinfektan, antara lain:
✓ Perendaman dalam larutan formalin pada dosis 25-50
ppm selama 24 jam atau lebih

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, 2010

penyakit ikan : Trichodiniasis atau Penyakit Gatal

Trichodiniasis atau Penyakit Gatal

Penyebab : Trichodina spp., Trichodinella spp., dan Tripartiella spp.


Bio-Ekologi Patogen :
• Protozoa dari golongan ciliata, berbentuk bundar, simetris dan terdapat di ekosistem air tawar, payau dan laut. Trichodina spp, berukuran 45-78 um, Trichodinella (24-37 um) dan Tripartiella (lebih dari 40 um)
• Memiliki cincin dentikel berupa cakram yang berfungsi sebagai alat penempel
• Inang parasit adalah semua benih ikan air tawar, payau dan laut. Menginfeksi organ kulit, sirip dan insang ikan yang baru menetas hingga umur 1 bulan
• Kelompok parasit ini umumnya lebih bersifat komensalis dari pada parasitik sejati, karena hanya memakan sel-sel kulit ikan yang mati/hancur.
• Kematian ikan yang diakibatkannya bisa mencapai 50% dari total populasi, terutama akibat infeksi sekunder oleh bakteri dan/atau cendawan.


Gejala klinis :

• Warna tubuh pucat, nafsu makan menurun, kurus, gelisah dan lamban

• Mengosok-gosokkan badan pada benda di sekitarnya (gatal)

• Frekwensi pernapasan meningkat dan sering meloncat-loncat
• Mengakibatkan iritasi dan luka pada kulit ikan karena struktur alat penempel yang keras (chitin),
• Iritasi sel epitel kulit, produksi lendir berlebih sehingga berwarna kecoklatan atau kebiruan
• Sirip rusak, menguncup atau rontok

Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ kulit/mukus, sirip dan/atau insang.


Pengendalian :
• Mempertahankan kualitas air terutama stabilisasi suhu air >= 29 derajat celcius

• Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air

• Ikan yang terserang trichodiniasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman beberapa jenis desinfektan, antara lain:

✓ Larutan garam dapur (untuk ikan air tawar) pada konsentrasi 500-10.000 ppm (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam
✓ Air tawar (untuk ikan air laut) selama 60 menit, dilakukan pengulangan setiap hari
✓ Larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 ppm selama 12 jam
✓ Larutan formalin pada dosis 200 ppm selama 30-60 menit dengan aerasi yang kuat, atau pada dosis 25-50 ppm selama 24 jam atau lebih
✓ Larutan Acriflavin pada dosis 10-15 ppm selama 15 menit
✓ Glacial acetic acid 0,5 ml/L selama 30 detik setiap 2 hari selama 3 — 4 kali
✓ Copper sulphate 0,0001 mg/L selama 24 jam atau lebih. diulang setiap 2 hari sekali
✓ Hidrogen peroxide (3%) 17,5 ml/L selama 10 menit. diulang setiap 2 hari
sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya, 2010

Fish disease: Cryptocaryasis (Marine White Spot)

Cryptocaryasis (Marine White Spot)

Cause: Cryptocaryon irritans

Bio - Ecology phatogen:
• Shaped round or oval measuring between 0.3-0.5 mm, and have cilia.
• obligate parasitic nature (a character similar biology with parasites "Ich")
• Highly malignant, in heavy infection can kill up to 100% in a few days
• infect marine aquaculture fish species (grouper, snapper, baronang, d1l.) Particularly seed size, although the size of adults are also vulnerable when their immune decline

Clinical Symptoms:
• decreased appetite, thin, dark body color, restlessness, lethargy and weakness
• Rubbing the body-rub on a nearby object
• Respiratory frequency increased (gasp), get closer to the water in.
• white spots or brown in fins, skin or gills, excess mucus production, and fin furl
• In severe infection, white spots or looks like a snow accompanied by bleeding, and opaque eyes, causing blindness
• secondary infection by bacteria will exacerbate health conditions to accelerate the process of death.


Diagnosis:
• Observations are visually for the presence of white spots (parasite) on the skin, fins and gills of fish
• Microscopic observation to see the morphology of the parasite through the production segment of the organ preparations skin / mucus, fins and / or gills.


Control:
• Maintain the temperature for always> 29 degrees Celsius
• The transfer of parasite-infected fish population to the water
parasite-free as much as 2-3 times with intervals of 2-3 days.
• Treatment and / or eradication of parasites may
conducted using immersion:

✓ low salinity water (0-8 PROMIL) for several hours (depending on species and size), transferred to water that is free of parasites and repeated every 2-3 days
✓ solution of hydrogen peroxide (H2O2) at a dose of 150 ppm for 30 minutes, transferred to water that is free of parasites and repeated every 2 days

✓ solution of copper sulphate (CuSO4) at doses of 0.5 ppm for 5-7 days with strong aeration, and water must be replaced every day.
✓ 25-50 ppm formalin solution for 12-24 hours, made repeated every 2 days

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

Parasitic diseases of fish: Oodiniasis

Parasitic diseases of fish: Oodiniasis


Cause: Piscinoodinium sp. (Synonim: Oodinium sp.)

Bio - Ecology phatogen:
• Represents ekto round-shaped parasites
• parasitic phase is shaped like a pear, diselaputi membrane and appendix as a tool resembling rizoid penempel in fish. The length of this face depends on water temperature, the temperature of 25 degrees Celsius for ± 6 days to reach adulthood.

• a severe infection can kill up to 100% in a few days.

• The organ is the target of infection include skin, fins and gills.

• As an adult, parasite escape from the host, turned into tomont and splitting into gymnospore. Gymnospore is the infective stage that swim like a spiral to find the host, if the
tempo of 15-24 hours did not find the host, the stadia will be dead.


Clinical Symptoms:
• Fish looks nervous, fluffy gill cover, folded fins, and rapid thin. The population of parasites in the skin resulting in golden color, rusty or brownish white (dirty) so often called "velvet disease".

• Fish often make sudden movements, fast and no
balanced "flashing" and will be obvious at the time of the morning
or evening.

. Rubbed his body on hard objects around him, and pale body color.


Diagnosis:
• Visual observation of the parasites on the skin, fins and gills of fish
• Microscopic observation to see the morphology of the parasite through the production segment of the organ preparations skin / mucus, fins and / or gills.


Control:
• Maintain the temperature for always> 29 degrees Celsius

• The transfer of parasite-infected fish populations to parasite-free water 2-3 times at intervals of 2-3 days.

• Treatment and / or eradication of parasites, among other things can be done through the immersion test:

✓ salt water (1 -10 PROMIL, depending on species and size of fish) for several hours, transferred to water that is free of parasites and repeated every 2-3 days.

✓ solution of hydrogen peroxide (H2O2) at a dose of 150 ppm for 30 minutes, transferred to water that is free of parasites and repeated every 2 days.

✓ solution of copper sulphate (CuSO4) at doses of 0.5 to 1.0 ppm for 5-7 days with strong aeration, and water must be replaced every day.

✓ 25-50 ppm formalin solution for 12-24 hours, made repeated every 2 days. Methylene blue at a dose of 2-6 ppm for 3-5 days.

✓ Acriflavin solution at a dose of 0.6 ppm for 24 hours, and repeated every two days.
sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

penyakit ikan : Oodiniasis

Oodiniasis


Penyebab : Piscinoodinium sp. (Synonim: Oodinium sp.)

Bio — Ekologi phatogen :
• Merupakan ekto-parasit berbentuk bulat
• Fase parasitik berbentuk seperti buah pir, diselaputi membran dan apendik menyerupai rizoid sebagai alat penempel pada ikan. Lamanya face ini tergantung pada suhu air, pada suhu 25 derajat celcius selama ± 6 hari akan mencapai dewasa.

• Infeksi yang berat dapat mematikan hingga 100% dalam tempo beberapa hari.

• Organ yang menjadi target infeksi meliputi kulit, sirip dan insang.

• Setelah dewasa, parasit melepaskan diri dari inang, berubah menjadi tomont dan membelah diri menjadi gymnospore. Gymnospore adalah stadia infektif yang berenang seperti spiral untuk mencari inang, apabila dalam
tempo 15-24 jam tidak menemukan inang, stadia tersebut akan mati.


Gejala Klinis :
• Ikan terlihat gelisah, tutup insang mengembang, sirip-sirip terlipat, dan cepat kurus. Populasi parasit di kulit mengakibatkan warna keemasan, berkarat atau putih kecoklatan (dekil) sehingga sering disebut "velvet disease".

• Ikan sering melakukan gerakan mendadak, cepat dan tak
seimbang "flashing" dan akan terlihat jelas pada saat pagi
atau sore hari.

. Menggosok-gosokkan tubuhnya di benda keras yang ada di sekitarnya, dan warna tubuh pucat.


Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap adanya parasit pada kulit, sirip dan insang ikan
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ kulit/mukus, sirip dan/atau insang.


Pengendalian :
• Mempertahankan suhu agar selalu > 29 derajat celcius

• Pemindahan populasi ikan yang terinfeksi parasit ke air yang bebas parasit sebanyak 2-3 kali dengan interval 2-3 hari.

• Pengobatan dan/atau pemberantasan parasit, antara lain dapat dilakukan melalui perendaman dengan:

✓ Air garam (1 -10 promil, tergantung species dan ukuran ikan) selama beberapa jam, dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2-3 hari.

✓ Larutan hydrogen peroxide (H2O2) pada dosis 150 ppm selama 30 menit, dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2 hari.

✓ Larutan kupri sulfat (CUSO4) pada dosis 0,5-1,0 ppm selama 5-7 hari dengan aerasi yang kuat, dan air harus diganti setiap hari.

✓ Larutan formalin 25-50 ppm selama 12-24 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari. Methylene blue pada dosis 2 - 6 ppm selama 3 – 5 hari.

✓ Larutan Acriflavin pada dosis 0,6 ppm selama 24 jam, dan diulang setiap dua hari sekali.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

Cryptocaryasis (Marine White Spot)

Cryptocaryasis (Marine White Spot)

Penyebab : Cryptocaryon irritans

Bio – Ekologi phatogen :
• Berbentuk bulat atau oval berukuran antara 0.3-0.5 mm, dan memunyai silia.
• Bersifat obligat parasitik (memiliki karakter biologi yang hampir sama dengan parasit "Ich")
• Sangat ganas, pada infeksi berat dapat mematikan hingga 100% dalam tempo beberapa hari
• Menginfeksi jenis ikan budidaya air laut (kerapu, kakap, baronang, d1l.) terutama ukuran benih, meskipun ukuran dewasa juga rentan apabila kekebalan tubuhnya merosot

Gejala Klinis :
• Nafsu makan menurun, kurus, warna tubuh gelap, gelisah, lesu dan lemas
• Menggosok-gosokkan badan pada benda di sekitarnya
• Frekwensi pernapasan meningkat (megap-megap), mendekat ke air masuk
• Bintik-bintik putih atau kecoklatan di sirip, kulit atau insang, produksi mukus berlebih, dan sirip menguncup
• Pada infeksi berat, bintik-bintik putih atau nampak seperti salju yang disertai pendarahan, dan mata buram hingga menyebabkan kebutaan
• Infeksi sekunder oleh bakteri akan memperparah kondisi kesehatan hingga mempercepat proses kematian.


Diagnosa :
• Pengamatan secara visual terhadap adanya bintik putih (parasit) pada kulit, sirip dan insang ikan
• Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ kulit/mukus, sirip dan/atau insang.


Pengendalian :
• Mempertahankan suhu agar selalu > 29 derajat celcius
• Pemindahan populasi ikan yang terinfeksi parasit ke air yang
bebas parasit sebanyak 2-3 kali dengan interval 2-3 hari.
• Pengobatan dan/atau pemberantasan parasit dapat
dilakukan melalui perendaman dengan menggunakan:

✓ Air bersalinitas rendah (0-8 promil) selama beberapa jam (tergantung spesies dan ukuran), dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2-3 hari
✓ Larutan hydrogen peroxide (H2O2) pada dosis 150 ppm selama 30 menit, dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2 hari

✓ Larutan kupri sulfat (CUSO4) pada dosis 0,5 ppm selama 5-7 hari dengan aerasi yang kuat, dan air harus diganti setiap hari.
✓ Larutan formalin 25-50 ppm selama 12-24 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

fish disease: Fusariosis

Fusariosis

Cause: Fusarium spp.
Bio-Ecology Pathogens:
• infected shrimp in the pond at the juvenile stage to adult size.
• Prevalence of infection was higher in ponds that land preparation is not good, especially the disposal of organic material and drying the less than perfect.
• In acute infections, fungal hyphae were also found in other body parts.
• Mortality which occurred primarily because of disruption to the process of molting (moulting).


Clinical symptoms:

• Tend to infect at the gills, causing inflammation to occur melanisasi intensive so that the black gills (often called gill disease black / black gill disease).
• Other organs such as roads and swimming legs and tail were damaged, even dead.
• At the other body parts are often found in the injury or symptoms such as burning, etc..

Diagnosis:
• Observations are microscopic, especially in organs were found makrokonidia gill fungi.
. Isolation on semi-solid media (for), and diidenfikasi in morfometris.


Control:
• Preparation of ponds are perfect, especially the disposal of organic material and drying the pond bottom.
• Avoid accumulation of organic material in the media maintenance, through the use of essential microbial or probiotic and / or frequency of water replacement is higher.
• Use of chemicals / disinfectants in the pond is inefficient.

source: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

KKP GANTI IKAN MATI KORBAN MERAPI

KKP GANTI IKAN MATI KORBAN MERAPI

Untuk memperbaiki sarana dan prasarana budidaya perikanan yang rusak akibat erupsi Merapi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyiapkan dana rehabilitasi bagi para pembudidaya ikan di Yogyakarta. Hal tersebut disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad saat melakukan peninjauan ke pembudidaya ikan lele di Boyolali dan pembudidaya ikan nila di Sleman kemarin. Adanya erupsi Merapi telah mengakibatkan kerugian tidak hanya bagi peternak dan petani, melainkan juga mengakibatkan kerugian bagi para pembudidaya ikan berupa kerusakan infrastruktur tambak dan kematian ikan.

Erupsi merapi yang menyemburkan debu dan material vulkanik lainnya mengakibatkan 70 kelompok pembudidaya dengan jumlah lebih 2751 orang mengalami kerugian. Menurut Fadel, sekitar 117 hektar kolam budidaya membutuhkan rehabilitasi segera agar dapat digunakan kembali menjadi lahan budidaya ikan. “Lebih dari 100 hektar lahan budidaya rusak akibat tertutup debu vulkanik merapi sehingga mengakibatkan jutaan ekor ikan di kolam dan tambak mati”, ujar Fadel.

Berdasarkan perhitungan KKP, kerugian sementara yang diderita para pembudidaya mencapai sekitar Rp. 25,9 Miliar. “saat ini produksi ikan terutama lele di DI Yogyakarta khususnya Boyolali mencapai lebih dari 15 ton per hari. Akibat bencana ini, produksi perikanan mengalami penurunan lebih dari 50 persen,” tambah Fadel. Untuk normalisasi tingkat produksi perikanan, maka dalam waktu dekat setelah erupsi Merapi berhenti, KKP akan segera melakukan rehabilitasi tambak-tambak dan kolam-kolam budidaya. Selain rehabilitasi lahan kolam seluas 114 ha, untuk memulihkan perekonomian di sektor budidaya ikan, para pembudidaya membutuhkan sedikitnya 11 juta ekor benih ikan dan lebih dari 1050 ton pakan ikan.

Pemberian bantuan terhadap pembudidaya ikan menunjukan bahwa KKP memiliki keberpihakan terhadap keberlangsungan budidaya ikan, tidak terkecuali masyarakat pelaku usaha perikanan yang terkena bencana alam. Sebelumnya, KKP juga telah menyiapkan anggaran sebesar Rp. 15 miliar untuk penanganan tsunami di Kepulauan Mentawai.



Jakarta, 8 November 2010
Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi



Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed


sumber : http://www.dkp.go.id

Budi Daya Kerapu Lampung Tumbuh Pesat

Budi Daya Kerapu Lampung Tumbuh Pesat

Bandar Lampung - Dibanding pembudidayaan ikan lainnya, budi daya ikan kerapu di Provinsi Lampung terbilang belia. Namun, lonjakan produksinya luar biasa seiring tingginya harga dan pangsa pasar yang terbuka lebar.

Oleh

Syafniiajl Datuk Sinaro

Terutama dalam tiga tahun terakhir, terjadi lonjakan produksi yang luarbiasa. Pada tahun 2007 produksi ikan kerapu dari sejumlah sentra produksi di Lampung baru 83,3 ton. Jumlah itu meningkat menjadi 90 ton pada tahun 2008, dan melonjak hingga 294,59 ton pada tahun 2009 lalu," ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung drh Havavo Pian kepada SH di Bandar Lampung, Kamis (4/11) siang.

Dijelaskannya, budi daya kerapu mulai tumbuh di Lampung tahun 2002 sebanyak 170 unit. Kini, jumlahnya melonjak menjadi 1.100 unit atau melonjak hingga enam kali lipat dibandingkan tahun 2002, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2007 lalu.

Untuk terus memacu produksi kerapu, menurut Kadis, pihaknya melakukan berbagai upaya. Antara lain, mempermudah perizinan melalui satu pintu, juga meningkatkan keamanan di laut. Selain itu, DKP mempermudah pemberian rekomendasi bagi pengusaha yang berminat berinvestasi pada budi daya kerapu.

Selain itu, untuk memacu investasi di sektor perikanan, Kementerian DKP sudah menghapus berbagai pungutan terhadap sektor perikanan sejak DKP dipimpin Fadel Muhammad. "Jadi tidak ada pungutan atau retribusi sama sekali terhadap pengusaha kerapu," ungkap Havavo.

Masih terkait dengan inves-tasi kerapu, Havavo menambahkan, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan dinas terkait di kabupaten, terutama soal tata ruang untuk budi daya kerapu. Termasuk mengenai pengaturan tata letak keramba mengingat ada yang sudah cukup padat seperti di Ringgung, Kabupaten Pesa waran.

Mengingat potensi pasarnya yang terbuka luas dan harganya yang mahal, DKP Lampung menjadikan budi daya kerapu sebagai sektor unggulan sama dengan udang. Oleh karena itu, DKP serius melakukan pengembangan dan pembinaan terhadap pembudi daya agar menerapkan budi daya ikan yang baik dan menghindari penggunaan obat-obatan kimia. Demikian pula pengusaha pem-benihan diharapkan menerapkan cara-cara pembenihan ikan yang baik. Terhadap benih yang sudah menerapkan cara-cara pembenihan ikan yang baik, DKP akan memberikan sertifikat.

Sentra Budi Daya

Di tempat yang sama, Kepala Bidang Budidaya DKP Lampung Marliana menambahkan, terdapat dua kabupaten yang menjadi sentra budi daya kerapu di Lampung, yakni Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran. Di Pesawaran, sentra kerapu terdapat di Pulau Puhawang dan Ringgung, Kecamatan Punduh Pidada. Sementara itu, di Lampung Selatan, sentra kerapu terdapat di Tanjung Putus. Lalu, yang menjadi sentra utama kerapu adalah di Ringgung yang diusahakan 38 pengusaha den-gan 718 petak.

Selain di ketiga sentra di atas, ujar Marliana, sejumlah pengusaha sudah mencoba budi daya kerapu di daerah lain, seperti di Kalianda, Lampung Selatan, namun hasilnya tidak sebagus di Teluk Lampung. Apalagi di pantai timur Lampung, Kabupaten Lampung Timur yang dasar perairannya berpasir dan lumpur serta gelombangnya kuat saat angin timur.

"Di Lampung Barat memang perairannya masih banyak karang, tetapi juga tidak cocok karena gelombangnya kuat, mengingat lokasinya yang ada di laut lepas, yakni Lautan Indonesia. Perairan yang cocok untuk budi daya kerapu adalah laut yang tidak tercemar, karangnya masih banyak dan alami, serta gelombangnya tidak begitu kuat," ujar Marliana.

Adapun lokasi lain yangmasih memungkinkan untuk pengembangan budi daya kerapu yakni di perairan sekitar Pulau Siuncai, Pulau Sebesi, dan Pulau Sebuku. Ketiga pulau . tersebut masih memiliki potensi budi daya KJA yang mencapai 50 ha.

Umumnya jenis kerapu yang dibudidayakan di Teluk Lampung adalah kerapu tikus atau biasa disebut juga kerapu bebek (Cromileptes altwelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus spp). Dari ketiga jenis tersebut, kerapu tikus yang paling dibudidayakan banyak karena pertumbuhannya paling bagus di perairan Teluk Lampung.

Pasar kerapu dari Lampung 100% diekspor ke Singapura, China, Taiwan, dan Hong Kong. Pembeli datang langsung membawa kapal ke sentra kerapu di Lampung karena kerapu diek-spor dalam kondisi hidup. Di negara-negara yang dominan berpenduduk warga Tionghoa tersebut, ikan kerapu merupakan makanan mahal dan bergengsi.

Adapun standar ukuran kerapu ideal yang diminati importir yakni berukuran setengah kilo-gram/ekor atau dua ekor/kg. Harganya mencapai 35 hingga US$ 40 /kg. Untuk mencapai ukuran setengah kilogram, umumnya dibutuhkan waktu 18 bulan atau satu setengah tahun.

Hingga kini penyakit kerapu yang sudah terdeteksi di keramba apung di Teluk Lampung, baru Viral Necrosis Nerveus (VNN) yang disebabkan virus famili Nodaviridae. Virus ini akan merusak organ, targetnya yaitu otak dan mata ikan. "Namun dengan bimbingan yang kami berikan penyakit ini masih bisa diatasi," ujar Marliana menjelaskan.


Sumber : Sinar Harapan 07 November 2010,hal. 15

BAHAN BAKAR ALGAE PALING STRATEGIS

BAHAN BAKAR ALGAE PALING STRATEGIS

“Indonesia harus menetapkan strategi menggunakan rumput laut sebagai bahan bakar nabati utama. Bahan bakar fosil pasti akan habis. Tenaga surya akan terkena dampak perubahan iklim di wilayah tropis yang semakin banyak hujan. Adapun biofuel dari tanaman darat, akan bersaing dengan program ketahanan pangan dan persaingan penggunaan lahan tanah dengan pemukiman. Dilain hal, negeri kita jelas merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki pantai terpanjang di dunia”, demikian disampaikan oleh Soen’an H. Poernomo dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada saat memberikan tanggapan dalam Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian PPN/Bappenas yang membahas tentang “Ketahanan Energi dan Perubahan Iklim”, tanggal 3 November 2010.

Penggunaan rumput laut sebagai andalan strategis tersebut didukung oleh Dr. Sugiharto, SE, MBA, Komisaris Utama Pertamina (Persero) karena hal tersebut sesuai dengan kondisi geografis negeri kita dan sekaligus akan meningkatkan perekonomian atau kesejahteraan masyarakat pesisir yang relatif lebih miskin. Prof. Dr. Emil Salim juga mengingatkan dalam seminar tersebut bahwa negeri kita memiliki sumber daya laut yang terbesar di dunia. Indonesia harus bergeser dari bahan bakar yang tidak terbarukan, seperti minyak, batu bara, gas alam dan sebagainya, menuju ke bahan bakar dari sumber daya alam yang terbarukan, seperti hasil pertanian, budidaya rumput laut dan sebagainya yang pasti bisa dikelola secara berkelanjutan. Mantan Menteri KLH ini juga membandingkan, kalau India dan Cina tidak memiliki banyak sumberdaya laut, ini berarti negeri kita memiliki daya saing lebih, dibanding dua raksasa ekonomi baru tersebut.

Menurut Soen’an, sebetulnya strategi politik energi Korea selatan bagus dijadikan contoh. Negeri yang menyadari keterbatasan kepemilikan bahan bakar fosil ini, mengandalkan energi dari rumput laut untuk masa depannya. Korea selatan, yang dilaksanakan oleh Korean Institute of Technology (KITECH), menginginkan bisa bekerjasama membuat model pemanfaatan rumput laut sebagai bahan bakar di Sulawesi Barat atau di Kepulauan Bangka Belitung. Indonesia dengan produksi rumput laut terbesar di dunia, yakni 1.021.143 ton, sangat feasible untuk mengandalkan rumput laut sebagai sumber energi. Selama ini rumput laut kebanyakan hanya untuk makanan, dan sedikit kosmetik dan lain-lain.

Profesor Ir. Widjajono Partowidagdo, Ph. D dari Dewan Energi Nasional, yang juga sebagai Guru Besar ITB, melihat peluang energi laut dari banyaknya selat diantara pulau-pulau di Indonesia. Di perairan luar Jawa akan bisa diperoleh energi yang lebih murah dalam daerah atau masyarakat yang berdomisili di wilayah terpencil. Ia memberikan contoh lain, seandainya air di Danau Poso, Sulawesi Tengah, dimanfaatkan, maka akan diperoleh energi senilai 3 cent dolar AS per KWH, dibanding dari minyak berharga 33 cent dolar AS per KWH dan kalau gas senilai 13 cent dolar AS per KWH.

Sehubungan dengan masalah besar dalam ketahanan energi dan perubahan iklim, Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, Selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyampaikan bahwa solusinya harus berdimensi tiga, ekonomi, energi dan lingkungan—ekonomi terus tumbuh dan mensejahterakan, energi tersedia dengan harga yang layak, dan dampak negatifnya terhadap lingkungan dapat dikurangi atau dihindari.



Jakarta, 4 November 2010
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi





Dr. Soen’an H. Poernomo, M. Ed


sumber :http://www.dkp.go.id

PENYAKIT PARASIT (PARASITIC DISEASE) Bintik putih (white spot) atau "Ich" atau ichthyophthiriasis

PENYAKIT PARASIT (PARASITIC DISEASE)

1. Bintik putih (white spot) atau "Ich" atau ichthyophthiriasis
Penyebab : Ichthyophthirius multifiliis atau 'Ich"


Bio – Ekologi Patogen :
• Protozoa berbentuk bulat/oval berdiameter 50-1000 um, diselaputi cilia, inti sel berbentuk seperti tapal kuda

* Bersifat obligat parasitic, dan pada sangat ganas, infeksi berat dapat mematikan hingga 100% dalam tempo beberapa hari.

* Menginfeksi semua jenis ikan air tawar terutama benih (ikan tidak bersisik lebih sensitif)


Gejala klinis :
▪ Nafsu makan menurun, gelisah
• Menggosok-gosokkan badan pada benda di sekitarnya Frekwensi pernapasan meningkat (megap-megap), mendekat ke air masuk

• Bintik-bintik putih di sirip, kulit atau insang


Diagnosa :
. Pengamatan secara visual terhadap adanya bintik putih (parasit) pada kulit, sirip dan insang ikan

. Pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi parasit melalui pembuatan preparat ulas dari organ kulit/mukus, sirip dan/atau insang.


Pengendalian :
• Mempertahankan suhu air >= 29 derajat celcius selama 2 minggu atau lebih
• Meningkatkan frekwensi pergantian air
• Pemindahan ikan pada air yang bebas "Ich" secara berkala yang disesuaikan dengan siklus hidupnya
• Ikan yang terinfeksi "Ich" dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman menggunakan beberapa jenis desinfektan,

antara lain:
✓ Perendaman dalam larutan garam dapur pada
konsentrasi 500-10.000 ppm (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari
✓ Perendaman dalam larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 ppm selama 12 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari
✓ Perendaman dalam larutan Acriflavin pada dosis 10-15 ppm selama 15 menit, dilakukan pengulangan setiap 2 hari


sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010

penyakit ikan : Fusariosis

Fusariosis

Penyebab : Fusarium spp.
Bio-Ekologi Patogen :
• Menginfeksi udang di tambak pada stadia juvenil hingga ukuran dewasa.
• Prevalensi infeksi lebih tinggi pada lahan tambak yang persiapannya kurang baik, terutama pembuangan bahan organik dan pengeringan yang kurang sempurna.
• Pada infeksi akut, hifa cendawan ditemukan pula pada bagian tubuh lainnya.
• Mortalitas yang terjadi terutama karena gangguan terhadap proses ganti kulit (moulting).


Gejala klinis :

• Cenderung menginfeksi pada bagian insang, menimbulkan inflamasi yang intensif hingga terjadi melanisasi sehingga insang berwarna hitam (sering disebut penyakit insang hitam/black gill disease).
• Organ lain seperti kaki jalan & renang serta ekor udang mengalami kerusakan, bahkan terputus.
• Pada bagian tubuh lain sering ditemukan adanya luka atau gejala seperti terbakar, dll.

Diagnosa :
• Pengamatan secara mikroskopis, terutama pada organ insang ditemukan adanya makrokonidia cendawan.
. Isolasi pada media semi solid (agar), dan diidenfikasi secara morfometris.


Pengendalian :
• Persiapan petak tambak secara sempurna, terutama pembuangan bahan organik dan pengeringan dasar tambak.
• Menghindari penumpukan bahan organik dalam media pemeliharaan, melalui penggunaan mikroba esensial atau probiotik dan/atau frekuensi penggantian air yang lebih tinggi.
• Penggunaan bahan kimia/desinfektan di tambak tidak efisien.

sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dirjen. Perikanan Budidaya,2010