BAHAN BAKAR ALGAE PALING STRATEGIS

BAHAN BAKAR ALGAE PALING STRATEGIS

“Indonesia harus menetapkan strategi menggunakan rumput laut sebagai bahan bakar nabati utama. Bahan bakar fosil pasti akan habis. Tenaga surya akan terkena dampak perubahan iklim di wilayah tropis yang semakin banyak hujan. Adapun biofuel dari tanaman darat, akan bersaing dengan program ketahanan pangan dan persaingan penggunaan lahan tanah dengan pemukiman. Dilain hal, negeri kita jelas merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki pantai terpanjang di dunia”, demikian disampaikan oleh Soen’an H. Poernomo dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada saat memberikan tanggapan dalam Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian PPN/Bappenas yang membahas tentang “Ketahanan Energi dan Perubahan Iklim”, tanggal 3 November 2010.

Penggunaan rumput laut sebagai andalan strategis tersebut didukung oleh Dr. Sugiharto, SE, MBA, Komisaris Utama Pertamina (Persero) karena hal tersebut sesuai dengan kondisi geografis negeri kita dan sekaligus akan meningkatkan perekonomian atau kesejahteraan masyarakat pesisir yang relatif lebih miskin. Prof. Dr. Emil Salim juga mengingatkan dalam seminar tersebut bahwa negeri kita memiliki sumber daya laut yang terbesar di dunia. Indonesia harus bergeser dari bahan bakar yang tidak terbarukan, seperti minyak, batu bara, gas alam dan sebagainya, menuju ke bahan bakar dari sumber daya alam yang terbarukan, seperti hasil pertanian, budidaya rumput laut dan sebagainya yang pasti bisa dikelola secara berkelanjutan. Mantan Menteri KLH ini juga membandingkan, kalau India dan Cina tidak memiliki banyak sumberdaya laut, ini berarti negeri kita memiliki daya saing lebih, dibanding dua raksasa ekonomi baru tersebut.

Menurut Soen’an, sebetulnya strategi politik energi Korea selatan bagus dijadikan contoh. Negeri yang menyadari keterbatasan kepemilikan bahan bakar fosil ini, mengandalkan energi dari rumput laut untuk masa depannya. Korea selatan, yang dilaksanakan oleh Korean Institute of Technology (KITECH), menginginkan bisa bekerjasama membuat model pemanfaatan rumput laut sebagai bahan bakar di Sulawesi Barat atau di Kepulauan Bangka Belitung. Indonesia dengan produksi rumput laut terbesar di dunia, yakni 1.021.143 ton, sangat feasible untuk mengandalkan rumput laut sebagai sumber energi. Selama ini rumput laut kebanyakan hanya untuk makanan, dan sedikit kosmetik dan lain-lain.

Profesor Ir. Widjajono Partowidagdo, Ph. D dari Dewan Energi Nasional, yang juga sebagai Guru Besar ITB, melihat peluang energi laut dari banyaknya selat diantara pulau-pulau di Indonesia. Di perairan luar Jawa akan bisa diperoleh energi yang lebih murah dalam daerah atau masyarakat yang berdomisili di wilayah terpencil. Ia memberikan contoh lain, seandainya air di Danau Poso, Sulawesi Tengah, dimanfaatkan, maka akan diperoleh energi senilai 3 cent dolar AS per KWH, dibanding dari minyak berharga 33 cent dolar AS per KWH dan kalau gas senilai 13 cent dolar AS per KWH.

Sehubungan dengan masalah besar dalam ketahanan energi dan perubahan iklim, Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, Selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyampaikan bahwa solusinya harus berdimensi tiga, ekonomi, energi dan lingkungan—ekonomi terus tumbuh dan mensejahterakan, energi tersedia dengan harga yang layak, dan dampak negatifnya terhadap lingkungan dapat dikurangi atau dihindari.



Jakarta, 4 November 2010
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi





Dr. Soen’an H. Poernomo, M. Ed


sumber :http://www.dkp.go.id