Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan pada Polikultur Udang Windu (Penaeus Monodon Fab) dan Ikan Bandeng (Chanos Chanos) pada Hapa di Tambak Brebes - Jawa Tengah
Umy Kholifah 1, Ninis Trisyani 2, Is Yuniar3
1Department of Fisheries, Faculty of Engineering and Marine Science, Hang Tuah University
2,3School of Marine Technology and Fishery, Hang Tuah Universiy
Abstract: This research aims to study the effects of stocking density to survival rate and growth of shrimp (Penaeus monodon Fab) and milkfish (Chanos chanos). The research used experimental method with field sclae and data collection are conducted through direct observation of the variables used in this research. It is used the random group design which consists four treatments dan for replication. Data are analysed using analysis of randomised design and continued with real different tests with level of significant 95%. In this research, each hapa is filled shrimps and milk fishes with different stocking density. Treatment A: stocking density of milkfishes 10 tails/m3 and shrimps 20 tails/m3. Treatment B: stocking density of milkfishes 15 tails/m3 and shrimps 30 tails/m3 . Treatment C : stocking density of milkfishes 20 tails/ m3 and shrimps 40 tails/m3. Treatment D: stocking density of milkfishes 25 tails/m3 and shrimps 50 tails/m3. The research result shows that different stocking density has real effects on survival rates of shrimps but has no real effects on survival rates of milkfishes and gives no effects on growths of both. Treatment with stocking density of milkfishes 25 tails/m3 and shrimps 20 tails/m3 is the best
Key words: shrimp, milkfish, random group design
PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus mondon fab) merupakan salah satu komoditas primadona di subsektor perikanan yang diharapkan dapat meningkatkan devisa negara. Permintaan pasar di luar negeri yang cenderung meningkat serta sumber daya yang cukup tersedia di Indonesia memberikan peluang sangat besar untuk dapat dikembangkan budidayanya.
Budidaya udang windu sudah lama di kenal oleh masyarakat Indonesia, sejak awal dekade 1970, pada awal-awal tahun (1970-1990) produksi udang windu yang dihasilkan dari budidaya meningkat dengan pesat, namun seiring dengan berjalannya waktu sampai sekarang budidaya udang windu mengalami kemunduran. Hal ini dikarenakan pengembangan teknologi budidayanya dilakukan tanpa dasar ilmiah yang kokoh maka banyak usaha budidaya udang (lebih dari 60%) mengalami kegagalan, selain itu udang windu mengalami kematian massal yang disebabkan kondisi lingkungan yang buruk dan terserang penyakit. Sehingga banyak petani udang windu beralih usaha ke budidaya ikan (bandeng atau nila) dan sebagian lain menelantarkan tambak akibat kerugian.
Di sisi lain, perkembangan teknologi budidaya Bandeng (Chanos chanos) berjalan sangat lambat, tetapi bandeng tetap menjadi komoditas budidaya yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Budidaya udang windu lebih menguntungkan dari pada bandeng, karena harga jual udang windu lebih tinggi. Sehingga untuk mengantisipasi agar kegiatan budidaya udang windu tetap berlangsung, perlu diterapkan budidaya dengan cara polkultur. Kondisi ini memungkinkan pemanfaatan tambak yang terlantar untuk membudidayakan udang windu dan bandeng dalam satu lahan dengan cara polikultur.
Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk pemeliharaan banyak produk dalam satu lahan. Dengan sistem ini diperoleh manfaat yaitu tingkat produktifitas lahan yang tinggi. Pada prinsipnya terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan produk yang harus diatur sehingga tidak terjadi persaingan antar produk dalam memperoleh pakannya, selain itu setiap produk diharapkan dapat saling memanfaatkan sehingga terjadi sirkulasi dalam satu lokasi budidaya. (Syahid dkk, 2006)
Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat meningkatkan craying capacity atau daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu, dimana pertumbuhan produksi akan tetap stabil. Hasil produksi dengan sistem monokultur, petani hanya dapat memanen satu produk dalam satu periode. Namun dengan polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan pemanfaatan lahan luasan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan penghasilan petambak (Syahid dkk, 2006).
METODE PENILITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di desa Kedunguter Kabupaten Brebes Jateng, pada bulan Juni-Juli 2008 selama sekitar satu bulan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih udang windu stadia gelondongan (PL 20-22) dan ikan bandeng stadia gelondongan (2-5 cm) yang diperoleh dari hatchery di daerah Brebes Jateng. Sedangkan wadah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hapa terbuat dari bambu yang diselimuti jaring dari bahan monofilamen berbentuk bujur sangkar dengan ukuran panjang 1 m, lebar 1 m dan 1 m. Jumlah wadah percobaan yang digunakan adalah sebanyak 16 buah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara observasi langsung yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap variabel-variabel pada objek yang diteliti (Prijosepoetro, 1998).
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, karena pertimbangan antara lain mengefisienkan waktu, biaya, tenaga dan menjaga keakuratan data. Masing-masing perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: (a) Padat penebaran ikan bandeng 10 ekor/m3 dan udang windu 20 ekor/m2, (b) Padat penebaran ikan bandeng 15 ekor/m3 dan udang windu 30 ekor/m2, (c) Padat penebaran ikan bandeng 20 ekor/m3 dan udang windu 40 ekor/m2, (d) Padat penebaran ikan bandeng 25 ekor/m3 dan udang windu 50 ekor/m2.
Pengamatan pertumbuhan ini dilakukan seminggu sekali selama satu bulan. Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan menimbang berat biomassa total benih udang windu dan ikan bandeng tiap perlakuan dibagi individu. Penimbangan ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan melalui berat atau bobot tubuh benih udang windu dan ikan bandeng setiap minggunya selama masa pemeliharaan. Sedangkan pengamatan kematian dilakukan setiap harinya. Benih udang windu dan ikan bandeng yang mati langsung diambil.
Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran terhadap kualitas air. Pengukuran ini bertujuan agar benih udang windu dan ikan bandeng yang mati bukan karena kualitas air, pengukuran ini dilakukan setiap pagi hari pukul 06.30 WIB sebanyak sepuluh kali dalam satu bulan. Parameter kualitas air yang diukur adalah oksigen terlarut, suhu, pH dan amonium.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh tingkat kelangsungan hidup Udang Windu (Penaeus monodon Fab) seperti pada tabel 1 dan ikan bandeng (Chanos chanos) pada tabel 2. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan padat tebar berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup udang windu, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup ikan bandeng.
Hal ini disebabkan kedua jenis spesies tersebut memiliki habitat hidup dan kebiasaan makan yang berbeda. Ikan bandeng pada stadia gelondongan hidupnya di kolom perairan yang menyebabkan pergerakkannya luas, aktif kedasar perairan untuk mencari makanan (klekap dan plankton) pada siang hari dengan mengandalkan kemampuan penglihatannya. Sedangkan udang windu stadia gelondongan hidupnya di dasar perairan yang pergerakkannya dipengaruhi oleh luasan lahannya dan adanya pergerakan ikan bandeng untuk mencari makanan didasar sehingga mempengaruhi ruang gerak udang windu.
Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kematian yang tinggi disebabkan oleh faktor padat penebaran yang tidak seimbang. Syahid dkk (2006), menyatakan bahwa kepadatan benih udang yang terlalu padat menyebabkan terjadinya variasi kematian benih yang berbeda-beda, sebagai akibat dari adanya sifat kanibal. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila keadaan dasar wadah benih yang digunakan terlalu sempit dibandingkan dengan jumlah benih yang ditampung akan menyebabkan bertumpuknya benih satu sama lain, akibatnya akan terjadi persaingan tempat. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara luas dasar wadah dengan jumlah padat penebaran.
Ruang gerak karena adanya padat penebaran secara langsung tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan bandeng, karena ikan bandeng tidak mempunyai sifat kanibal terhadap lainnya, dan juga ikan bandeng merupakan jenis ikan yang suka berkelompok dalam mencari makanan walaupun dalam jumlah yang tidak begitu besar. Lain halnya dengan udang windu padat penebaran secara langsung berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, karena udang windu mempunyai sifat kanibal terhadap lainnya. (Tjoronge, 2005)
Ketersediaan makanan yang cukup dan kualitas air yang menunjang sangat mempengaruhui tingkat kelulushidupan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Spote (1987) dalam Badare (2001), bahwa kualitas air turut mempengaruhui kelulushidupan dan pertumbuhan dari organisme perairan yang dibudidayakan.
Selain itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh McCormick et.al (1998) dalam Ninef (2002), bahwa padat penebaran yang tinggi akan menyebabkan tingkat persaingan terhadap makanan dan ruang menjadi tinggi yang akan menurunkan tingkat kelulushidupan suatu organisme.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semakin tinggi padat tebar maka kelangsungan hidup udang windu dan ikan bandeng semakin rendah.
Table 1. Data kelangsungan hidup udang windu (penaeus monodon fab)
Perlakuan | Ulangan (%) | Total (%) | Rata-rata (%) | |||
1 | 2 | 3 | 4 | |||
A B C D | 85 70 42,5 30 | 90 70 32,5 34 | 95 66,7 40 24 | 95 56,7 37,5 28 | 365 263,4 152,5 116 | 91,25 65,85 38,12 29 |
Tabel 2. Data kelangsungan hidup ikan bandeng (chanos chanos)
Perlakuan | Ulangan (%) | Total | Rata-rata | |||
1 | 2 | 3 | 4 | |||
A B C D | 100 100 100 100 | 100 100 100 96 | 100 100 100 100 | 100 100 100 96 | 400 400 400 392 | 100 100 100 98 |
Gambar 1. Grafik hubungan antara padat tebar dengan
persentase kelangsungan hidup udang windu
Data pertumbuhan berat rata-rata individu udang windu (Penaeus monodon Fab) selama penelitian yang disajikan pada tabel 3 dan ikan bandeng (Chanos chanos) pada tabel 4. Udang windu dan ikan bandeng sebagaimana hewan air lainnya untuk memperoleh pertumbuhan maksimal membutuhkan asupan makanan yang unsur-unsurnya (protein, karbohidart, lemak dan lain-lainnya) mencukupi hewan tersebut. Padat tebar yang tinggi akan mengganggu laju pertumbuhan meskipun kebutuhan makanan tercukupi. Hal ini disebabkan karena adanya persaingan dalam memperebutkan makanan dan ruang.
Pertumbuhan adalah total energi yang diubah menjadi penyusun tubuh, kebutuhan energi ini diperoleh dari makanan. Pertumbuhan juga merupakan suatu proses pertambahan bobot maupun panjang tubuh ikan, adapun perbedaan laju pertumbuhan dapat disebabkan karena adanya pengaruh padat penebaran dan persaingan di dalam mendapatkan makanan.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan padat penebaran yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng. Hal ini karena ikan bandeng mempunyai sifat menggerombol dan hidup di kolom air sehingga mengalami persaingan dalam mendapatkan makanan akibat padat penebaran yang tinggi. Berbeda dengan udang windu yang memiliki sifat individu dan kanibal padat penebaran yang tinggi serta asupan pakan yang diberikan tidak mencukupi sehingga menimbulkan sifat kanibal antar sesama untuk memenuhi kebutuhan asupan makanannya, akibatnya banyak udang windu yang mati sehingga persaingan lebih sedikit.
Menurut Mangampa dkk (2008), menyatakan bahwa semakin besar kepadatan ikan yang kita berikan, akan semakin kecil laju pertumbuhan per individu. Dengan kepadatan rendah ikan mempunyai kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik dibandingkan dengan kepadatan yang cukup tinggi, karena makanan merupakan faktor luar yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan (Syahid dkk, 2006).
Kekurangan pakan akan memperlambat laju pertumbuhan sehingga dapat menyebabkan kanibalisme, sedangkan kelebihan pakan akan mencemari perairan sehingga menyebabkan udang stres dan menjadi lemah serta nafsu makan udang akan menurun (Anonimous, 2000).
Ruang gerak juga merupakan faktor luar yang mempengaruhi laju pertumbuhan, dengan adanya ruang gerak yang cukup luas ikan dapat bergerak dan memanfaatkan unsur hara secara maksimal (Anonimous, 1993). Pada padat penebaran yang tinggi ikan mempunyai daya saing di dalam memanfaatkan makanan, unsur hara dan ruang gerak, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan ikan tersebut.
Table 3. Data rata-rata laju pertumbuhan harian individu udang windu (penaeus monodon fab)
Perlakuan | Ulangan (%) | Total (%) | Rata-rata (%) | |||
1 | 2 | 3 | 4 | |||
A B C D | 6,6 5,7 5,6 5,3 | 6,5 5,8 5,9 5,4 | 6,4 5,9 5,3 5,6 | 6,1 5,9 5,4 5,5 | 25,7 23,3 22,2 21,8 | 6,41 5,8 5,6 5,4 |
Tabel 4. Data laju pertumbuhan ikan bandeng (Chanos chanos)
Perlakuan | Ulangan (%) | Total (%) | Rata-rata (%) | |||
1 | 2 | 3 | 4 | |||
A B C D | 7,7 7,5 7,2 6,6 | 7,9 7,5 7,1 6,7 | 8,6 7,6 6,9 6,5 | 7,9 7,6 6,8 6,9 | 32,1 30,2 28 26,7 | 8 7,6 7 6,7 |
Gambar 2. Hubungan antara padat tebar dengan persentase
laju pertumbuhan udang windu
Gambar 3. Hubungan antara padat tebar dengan persentase
laju pertumbuhan ikan bandeng.
Selama penelitian dilakukan pengukuran parameter kualitas air sebagai data penunjang. Kualitas air yang diukur meliputi salinitas, suhu, pH, DO dan ammonium. Data hasil pengukuran dapat di lihat pada tabel 5. Hasil pengamatan kualitas air yang di ukur tidak begitu memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng yang dipelihara. Karena masih dalam kisaran yang aman.
Tabel 5. Data Nilai Rata-rata Kualitas Air Selama Penelitian
Perlakuan | DO | Salinitas | Suhu | pH | Ammonium |
A B C D | 8 8 7,8 8 | 17 17 17 17 | 29,4 29 30 29 | 7,5 8 7,5 7,5 | 0,2 0,2 0,2 0,2 |
KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dan pembahasan data penelitian pengaruh padat tebar yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada polikultur udang windu (penaeus monodon fab) dan ikan bandeng (chanos chanos) pada hapa di tambak. Perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup udang windu dan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan bandeng dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng.
Perlakuan terbaik pada perlakuan, yaitu padat tebar ikan bandeng 10 ekor/m3 dan udang windu 20 ekor/m2, sedangkan untuk aplikasi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal lebih baik menggunakan padat tebar untuk ikan bandeng 25 ekor/m3 dan udang windu 20 ekor/m2.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. hal. 37.
Anonimous. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Dirjen Perikanan Tim MMC Daerah Jawa Timur. PT. Aquatik Consultans dan Konsorsium.
Badare, A. I. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Makroalga Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalone (Holiotis spp) Yang Dipelihara Dalam Kurungan Terapung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Undana: Kupang.
Mangampa, M. Busran dan Suswoyo, H. S.2008. Optimalisasi Padat Tebar Terhadap Sintasan Tokolan Udang Windu Dengan Sistem Aerasi di Tambak. www.yahoo.com. 02 juli 2008.
Ninef, M. C. H. 2002. Pengaruh Padat Penebaran Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalon (Holiotis spp) Yang Dipelihara Dalam Kurungan Apung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan. UHT: Surabaya.
Prijosepoetro, S. 1998. Bahan Kuliah Metode Ilmiah. Fakultas Perikanan. UHT: Suarabaya.
Syahid, M. Subhan, A. dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara polikultur. Penebar swadaya: Jakarta.
Tjoronge, M. 2005. Polikultur Rumput Laut Gracillaria sp. dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (7).
Wiyanto, H. dan Hartono, R. 2004. Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar. Penebar swadaya: Jakarta.