Penelitian Rumput Laut Primadona Kurang Berkembang
Pengembangan penelitian dan pemanfaatan rumput laut (mi-kroalga) masih sedikit. Dari 682 jenis algae yang ditemukan di Indonesia, baru sekitar 20 spesies yang dikembangkan. Dari jumlah itu, ada tiga jenis saja yang menjadi primadona industri.
Ketua ikatan Fikologi Indonesia (IFI), Rachmaniar Rachmat mengatakan, pemanfaatan dan penelitian rumput laut dan jenisnya di Indonesia, belum mencapai 10 persen. "Penelitian yang ada diawali dari jenis-jenis yang sudah umum saja. Penelitian ke jenis lainnya masih belum berkembang, padahal potensinya besar," ujar Rachmaniar yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jakarta belum lama ini.
Menurutnya, ada beberapa jenis rumput laut yang sudah menjadi primadona, yaitu Eucheuma cottonii dan Gracillaria verucosa yang sering dipakai untukpembuatan agar-agar. Kedua jenis ini menjadi rumput laut primadona komoditas ekspor maupun bahan baku industri pengolahan dalam negeri.Ia mengatakan, para ilmuan peneliti rumput laut menyadari bahwa rumput laut dan mikroalga harus terus diteliti dan dikembangkan sehingga jumlah dan jenis yang dimanfaatkan semakin meningkat. Dengan demikian, pemanfaatan kedua sumber daya alam tersebut lebih optimal tercapai. Selama ini, menurutnya, pemanfaatannya lebih sebagai sumber fikokoloid atau sebagai sayuran.
Kurangnya penelitian dalam mikroalga juga disampaikan oleh Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jana Anggadiredja. Menurutnya, penelitian soal rumput laut baru berkembang pada 1980-an. Ia mengatakan, penelitian rumput laut kurang diminati karena dananya kecil, perhatian pemerintahrendah, industri belum berkembang pesat.
Ironisnya, permintaan rumput laut cukup besar. Jana yang bergabung dalam Indonesian Seaweed Society (ISS) menegaskan, pemerintah saat itu tak menjadikan rumput laut sebagai target untuk menjadi komoditas unggulan. Padahal, pihaknya berpikir bahwa pengembangan rumput lauat merupakan salah satu solusi peningkatan perekonomian masyarakat di wilayah pesisir yang umumnya rakyat kurang mampu.
Menurutnya, bidang yang bergerak dalam rumput laut hanyalah peneliti dan industri. Indonesia sendiri, menurutnya, hanya mengembangkan dan membudidayakan beberapa jenis yang menjadi primadona saja. "Padahal, masih banyak jenis alga lain yang sangat potensial untuk dikembangkan," ujarnya.Saat ini, penelitian rumput laut diharapkan bisa mengembangkan jenis pri-madona lain dan potensi baru. Jenis-jenis lain yang potensial menjadi primadona adalah spesies untuk bioe-thanol, alternatif pangan, dan lain-lain. "Hanya, ada beberapa jenis seperti sargo-. sum yang terkendala dalam hal budi dayanya," ujarnya.
Awalnya, penelitian soal mikroalga dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, dengan dukungan dari industri. Setelah itu, penelitian dan pengembangan rumput laut pun berkembang di Bali dan Sulawesi Selatan, dan menyebar ke beberapa daerah.Benih untuk jenis Coto-nii, tadinya berasal dari Filipina. "Waktu itu kita membawa sebanyak 1.950 gram. Jumlah itu cukup untuk dikembangkan dan menjadi primadona hingga sekarang, termasuk rumput laut genus Glacillaria yang berasal dari Taiwan. Saat ini, kita tak perlu impor benih. Kita bisa kuasai benih sendiri," ujarnya.dewi mardiani. *d andina
Sumber: Republika, 29 Juni 2010 H. 25