Produksi Patin dari Kalsel
Ikan patin merupakan satu diantara sepuluh komoditas unggulan perikanan budidaya. Ikan yang termasuk dalam cat fish ini sangat diminati di pasar lokal maupun internasional. Karena itu upaya pengembangan patin di tanah air terus dilakukan.
Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melakukan kegiatan pengembangan budidaya ikan air tawar adalah Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin. BBAT ini merupakan salah satu UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) yang terletak di Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan (Kal sel).
Terkait pengembangan patin di Kalsel, maka diselenggarakan temu lapang guna sosialisasi penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Tujuan utamanya adalah untuk sertifikasi budidaya patin di Kalsel. Acara ini digelar di BBAT Mandiangin di Bincau Kabupaten Banjar Kalsel (24/6).
Dari penyelenggaraan acara ini diharapkan upaya pencapaian target sertifikasi tahun 2010 secara nasional sebanyak 1000 unit usaha/perusahaan perikanan yang bersertifikat atau beberapa unit usaha di Kalimantan Selatan akan segera terwujud. Acara ini dihadiri antara lain oleh Direktur Produksi–Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya beserta staf, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel, Kepala BBAT Mandiangin, Kepala Balai Benih Ikan–Induk Ikan Air Tawar Karang Intan, Kelompok Pembudidaya Ikan Patin di Kalsel dan Kalteng dan lainnya.
Stasiun BBAT Mandiangin di Bincau Sebagai Lokasi Temu Lapang Pembudidaya
Terapkan CBIB Patin
Terkait dengan upaya peningkatan produksi ikan air tawar di Kalsel maka harus dibarengi dengan peningkatan mutu produksinya. Yakni melalui penerapan standar CBIB. Fakta di lapangan menunjukkan, CBIB belum sepenuhnya dimengerti dan juga belum diterapkan oleh pembudidaya. Misalnya pada pengelolaan sumber air sebagai air pasok sebelum digunakan hanya diendapkan (tanpa treatment khusus), penggunaan obat-obat kimia yang belum terdaftar, pencatatan belum dilakukan sepenuhnya, higienitas personal masih kurang, pengelolaan limbah belum dikelola.
Dalam hal pakan, pembudidaya dipusingkan dengan harga pakan yang mahal. Ini karena sekitar 90% bahan baku pakan masih harus didatangkan dari luar negeri. Celakanya, biaya untuk pakan ini mencakup 70% dari total biaya produksi.
Demi menyiasati tingginya harga pakan maka pembudidaya harus didorong untuk membuat pakan secara mandiri dengan memanfaatkan bahan baku lokal. Kegiatan ini juga sebaiknya dikelola oleh kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) sehingga mereka tidak bergantung pada pakan pabrik. Ini juga perlu dukungan pemerintah antara lain dengan memberikan bantuan sarana budidaya seperti mesin pembuat pakan ikan sederhana (mesin pelet mini).
Lokal Lebih Mahal
Dari kondisi terakhir tak heran jika harga patin Indonesia lebih mahal daripada patin Vietnam. Vietnam mampu menghasilkan patin murah karena pakannya juga murah dan masa budidayanya singkat. Harga pokok patin Vietnam Rp 6.000–7.000/kg, sedangkan di Indonesia harga pokoknya Rp 8.000–11.000/kg. Sulit bagi Indonesia untuk menyamai harga patin Vietnam. Upaya yang bisa dilakukan yaitu menekan biaya produksi terutama biaya pakan melalui diversifikasi pengolahan hasil patin seperti mengolah ekor, kepala ikan patin, fillet. Ini diharapkan akan memberikan nilai tambah (added value) sehingga bisa bersaing dengan impor patin dari Vietnam.
Sementara itu saat ini pembudidaya berharap ada peluang ekspor Terutama pembudidaya di Banjar Baru. Produksi mereka per hari mampu mencapai 30–60 ton. Sementara di Sungai Batang Ilir Kecamatan Martapura Barat Kabu, salah satu pokdakan yang memiliki 70 kolam mampu memproduksi ikan patin 70 ton/kolam. Potensi produksi patin tersebut diharapkan mampu menembus pasar ekspor dan menggantikan impor patin (fillet) dari Vietnam.Dan untuk itu juga harus menjaga kontinyuitas bahan baku, kuantitas dan kualitas produksi.
Kendala lain adalah pabrik pengolahan (cold storage) patin menjadi fillet masih sangat sedikit di Indonesia. Di sisi lain pasar dalam negeri justru kebanjiran oleh produk patin Vietnam karena harga patin lokal masih kalah bersaing. Patin fillet Vietnam yang telah masuk pasar Indonesia harganya Rp 9.000/kg lebih murah dari Indonesia yang harganya Rp 17. 000/kg.
Padahal dari segi kualitas, patin Indonesia jauh lebih hebat dibandingkan kualitas patin Vietnam. Hal ini dikarenakan sungai Mekong—lokasi budidaya patin di Vietnam—yang mengalir di Vietnam sebelumnya telah melewati China, Thailand, Laos dan Myanmar sehingga sungai tersebut dipastikan juga membawa bahan-bahan cemaran dari wilayah-wilayah yang telah dilewatinya sehingga kualitas airnya menurun.
Dari jenis ikannya, patin Indonesia dan patin Vietnam sebenarnya mempunyai kualitas sama. Hanya di tingkat pengolahan, kualitas patin lokal harus ada pembenahan. Permasalahan olahan daging patin (fillet) antara lainn ukuran panen umumnya kurang memenuhi standar untuk ukuran sebagai fillet. Sementara kisaran ukuran patin untuk fillet adalah 500 gram–1 kg/ekor. Ukuran standar tersebut kerap tak terpenuhi karena banyak pembudidaya yang memanen ikannya lebih cepat dengan alasan agar biaya produksi tidak tinggi.
sumber : http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id