I Gede Ngurah Wididana - Penemu Formula Minyak Oles Bokhasi
I GEDE NGURAH WIDIDANA - Penemu Formula Minyak Oles Bokashi
Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr dalam pengembangan Teknologi EM di Indonesia, Khususnya di bidang kesehatan adalah membuat ramuan yang amat terkenal yaitu MINYAK OLES BOKASHI. Ramuan serbaguna yang terbuat dari campuran beberapa tanaman berkhasiat obat yang difermentasi dan diekstrak dengan teknologi EM. Maka G.N. Wididana dikenal dengan nama "Pak Oles" dan ramuannya dikenal oleh masyarakat luas sebagai "Ramuan Pak Oles".
Persentuhan Wididana dengan obat-obatan alternatif berbasis teknologi effective micro-organism (EM), yang kemudian menjadi bisnis inti, memang bukan suatu kebetulan. Artinya, bidang yang biasanya dihubungkan dengan wangsit dan klenik itu tidak ditempuhnya lewat jalur supranatural. Wididana menempuh jalan ilmiah. Ini dimulainya pada 1980-an ketika dia memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali. Ketika tamat pada 1985, dia tak lantas mencari pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan besar. Kelahiran Busung Biu, Buleleng, Bali, 9 Agustus 1961 ini langsung mengabdikan ilmunya di sawah, alias menjadi petani. Dia menyewa tanah seluas 2 hektare di lereng Gunung Batur, di tepi Danau Batur yang terletak di daerah wisata Kintamani. Di daerah yang dingin dan tak terjamah aliran listrik itu dia menanam aneka sayuran.
Toh, itu tak membuat Wididana terisolasi dari kegiatan ilmiah. Di sela-sela kesibukannnya sebagai petani, dia mencari hiburan dengan bertandang ke Balai Seni Toyabungkah, milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA), yang letaknya tidak seberapa jauh dari kebun sayurnya. Anak desa itu kemudian ditawari STA bergabung di laboratorium lapangan Fakultas Pertanian Universitas Nasional. Begitulah, Wididana kemudian pindah ke Jakarta, meninggalkan kebunnya yang baru setahun dikelola, untuk mengurus kebun orang. Setahun kemudian pria berpenampilan sederhana itu mendapat beasiswa dari Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang. Di Negeri Sakura dia berkesempatan belajar langsung dari Prof. Dr. Teruo Higa, penemu teknologi EM. Menurut Wididana, teknologi EM baru ditemukan tahun 1980, untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia di bidang pertanian dan kesehatan yang mulai berlebihan.
Ketika kembali ke Jakarta pada 1990, Wididana yang bergelar Master of Agriculture bidang holtikultura langsung menjadi Dosen dan Kepala Laboratorium Fakultas Pertanian Unas. Dia sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang memperkenalkan teknologi EM. Di Unas, dia cuma bertahan empat tahun. Pada 1994 dia kembali ke Desa Bengkel, Busung Biu, Buleleng. Di tanah kelahirannya itu, dia berkonsentrasi membesarkan PT Songgolangit Persada. Perusahaan ini memasarkan pupuk organik yang diolah dari sampah rumah tangga.
Selain itu, Wididana juga mendirikan Yayasan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Dia melengkapi IPSA dengan kebun seluas 7 ha sebagai sarana menerapkan teknologi EM. Lahan ini ditanami 135 jenis tanaman obat dan sepenuhnya dijalankan dengan metode EM. Itu tak berarti jalan telah terbuka buat teknologi EM yang dibawanya dari Jepang. Para petani yang terbiasa menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan hasil panen, ogah mencobanya. Dukungan pemerintah juga tak dia dapatkan. Ilmu yang dia dapat dari Prof. Teruo kemudian digabungnya dengan usadha (pengobatan tradisional Bali). Penelitiannya yang tak kenal lelah akhirnya menghasilkan ramuan multimanfaat pada 1998. Ramuan itu diberi nama Minyak Oles Bokashi, dikemas dalam botol 10 dan 40 ml dengan harga Rp 10 ribu dan Rp 40 ribu. “Bokashi” diambil dari bahasa Jepang yang berarti fermentasi. Ini sesuai dengan teknologi EM yang dipergunakan untuk menemukan ramuannya hingga menghasilkan minyak. Sementara itu, kata “oles” dipilih karena penggunaannya dilakukan dengan cara mengoles laiknya teknik pengobatan tradisional Bali. Selain itu, “oles”, menurut Wididana, merupakan singkatan dari organik lestari sehat sejahtera.
Produk bokashi oles itu kemudian dipasarkan Wididana kepada para petani di desanya dari pintu ke pintu. Usahanya yang tak kenal lelah akhirnya membuahkan hasil. Pasar mulai melirik produk bokashi organik olesnya dengan peningkatan signifikan dari waktu ke waktu. Melihat produknya mulai mendapat sambutan positif di pasar, Wididana akhirnya memutuskan memproduksi temuannya secara massal. Begitulah, pada 2000, dengan modal Rp 20 juta dan dibantu lima karyawan, dia mendirikan pabrik pupuk bokashi di Desa Bengkel, Buleleng. Produk pertamanya, pupuk organik bokashi. Kendaraan yang dipakainya adalah PT Karya Pak Oles Tokcer.
Sukses ini berakibat hilangnya nama Wididana dari dunia bisnis yang dirintisnya. Orang lebih mengenalnya sebagai Pak Oles. Wididana sendiri tidak keberatan orang memanggilnya dengan sebutan itu. Baginya, yang penting orang bisa disadarkan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Apalagi, sebutan itu membuat produknya makin cepat dikenal dan laris di pasar. Ini terbukti dengan semakin bervariasinya produk Pak Oles. Selain Minyak Bokashi Oles, sekadar menyebut sebagian, ada minyak oles untuk gatal-gatal, pegal, keseleo, linu, perut kembung bayi, cacingan, melancarkan peredaran darah, rematik, sampai penambah “greng” pria, minyak kayu putih, dan minyak sajas (khusus hewan). Lalu, madu (7 jenis), parem (2 macam), anggur (2 macam), balsem, krim kecantikan, penambah awet muda, serta minyak oles relaksasi untuk spa dan EM keramik.
Tak berhenti sampai di situ. Untuk keseimbangan lingkungan, Pak Oles juga meluncurkan Ecocity-1 untuk membersihkan lantai hingga menghilangkan bau pengap. Ini juga bisa dipakai buat memandikan hewan piaraan serta mencuci mobil. Lalu, ada produk yang diberi nama EM-4 untuk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan pengolahan limbah; EM Toilet untuk menghilangkan bau tak sedap dari limbah WC; Sarula-3 untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil pertanian; dan Saferto-5 untuk mencegah serangan hama. Dalam waktu tak terlalu lama, variasi produknya sudah mencapai 24 jenis. Ini membuat pabriknya di Desa Bengkel tak sanggup lagi memenuhi permintaan pasar. Pak Oles lalu menambah satu pabrik lagi di Denpasar, sekaligus mendekati konsumennya. Meski telah memiliki dua pabrik, semua produknya tetap dipasarkan di bawah payung besar PT Karya Pak Oles Tokcer.
Kesibukan Wididana yang terus bertambah, baik di perusahaannya yang terus berkembang maupun di yayasan, tak membuat kreativitasnya mandek. Tahun 2001 dia malah menemukan alat yang disebutnya spontan power. Alat ini dikaitkan di mesin mobil atau motor untuk menghemat energi, menambah tenaga, memperpanjang umur mesin, memperhalus suara mesin, dan, yang terpenting, untuk menekan polusi udara. Harga yang ditawarkan Rp 70 ribu untuk spontan power motor dan Rp 400 ribu untuk mobil. Pemasaran produknya, selain door-to-door, kini juga menggunakan gerai modern lewat apotek dengan sistem beli putus. Pemasarannya tidak lagi terbatas di Bali, tapi sudah menjangkau Jakarta, dan kota-kota besar di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi dan Sumatera. Ekspornya, meski belum banyak, sudah menjangkau Jepang, Malaysia, Thailand, Korea, AS, Australia, Austria, dan beberapa negara Timur Tengah. Omset Pak Oles mencapai Rp 3 miliar/bulan atau Rp 36 miliar/tahun, separuhnya disumbang Minyak Oles Bokashi. Produk bokashi pertanian rata-rata menyumbang Rp 300 juta/bulan, sedangkan spontan power yang diluncurkan pada 2001 menyumbang Rp 20 juta/bulan. Total karyawan Pak Oles kini sekitar 1.800 orang.
Bila tak ada aral melintang, Wididana boleh jadi akan menjelma menjadi konglomerat baru di Indonesia yang masuk lewat pintu alternatif. Ahli hama dan penyakit tanaman berumur 43 tahun itu kini memasuki bisnis resto dengan membuka rumah makan di Denpasar yang diberi nama Warung Organik Pak Oles Fish & Vegetables. Di sini disediakan berbagai masakan yang bebas bahan kimia. Dia juga membuka dua klinik pijat dan penyembuhan Bali ala Pak Oles, diberi nama Usadha Oles. Klinik ini melayani pijat relaksasi, pijat osteopati (kepala dan tulang belakang), pijat sirkulasi, pijat refleksi, pijat alternatif patah tulang, dan bokashi therapy - pengobatan dengan panas bokashi.
Paparan di atas dengan gamblang menunjukkan keuletan pria Bali yang satu ini. Dia bergerak bak meteor di bidang yang dikuasainya betul. Rantai bisnisnya, meski kelihatan setengah main-main, dibangun serius dari hulu ke hilir. Penyandang gelar Doktor dari American Institute Management Studies, Hawaii (1999), ini memproduksi sendiri bahan baku yang dibutuhkan pabriknya. Sejak dulu Pak Oles yakin, bila teknologi dan manajemen digabungkan, akan menghasilkan industri. Bila industri tersebut mendapat dukungan informasi yang akurat, akan menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar. Keyakinan ini kemudian dirumuskan Pak Oles menjadi SIMT (sistem informasi manajemen dan teknologi) yang dipakainya untuk membangun jaringan bisnis. Usahanya, menurut Pak Oles, dibangun secara konservatif alias menghindari utang. "Saya tidak ingin besar tapi dibebani utang," katanya terus terang. "Itu sebabnya, saya tidak mau gegabah menambah kapasitas produksi, sebelum ada kepastian bahwa produk itu akan diserap pasar," ia menambahkan.
Wididana tak punya jawaban pasti ketika ditanya soal kunci suksesnya. "Dalam bisnis, yang penting keberanian menangkap peluang dan jangan sekali-kali masuk ke medan atau usaha yang tidak kita kuasai," katanya hati-hati. "Lalu, harus dikelola dengan manajemen yang profesional. Tanpa itu, semuanya bisa jadi nol," ujarnya tegas. Wididana mengaku sangat berterima kasih kepada istrinya, Komang Dyah Stuti, dan empat putranya yang mendukung kreativitasnya. Juga, kepada 1.800 karyawannya di seluruh Indonesia. Tanpa dukungan mereka, dia menandaskan, tak mungkin Pak Oles Tokcer bisa berkembang. Tahun ini dia menargetkan meraup penjualan di atas Rp 40 miliar.
Sumber: Majalah SwaSembada, 18 Maret 2004.
ANAK BANGSA BERKIPRAH DALAM DUNIA PENEMUAN