Ilustrasi Polair menangkap Ilegas Fishing |
Andi Iqbal Burhanuddin - detikNews
Jakarta The world Commission on the Environment and Development menempatkan kemiskinan dan lingkungan sebagai hubungan sebab akibat dimana kemiskinan merupakan salah satu penyebab kerusakan suatu lingkungan.
Hal tersebut juga telah diperkuat oleh fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan nelayan masih menjadi fenomena di sepanjang 95, 181 ribu kilometer garis pantai Nusantara, dan karena kemiskinan tersebut itu pula sehingga pemanfatan sumbedaya alam dan lingkungan yang tidak terkendali dan berakhir pada kerusakan ekosistem yang menopang kehidupan manusia dimuka bumi ini.
Thomas R. Malthus (1798) telah mengingatkan bahwa populasi manusia yang tumbuh secara geometric atau deret ukur, dan sumberdaya alam yang tumbuh secara aritmetik atau deret hitung akan menyebabkan masalah besar yaitu kekurangan pangan.
Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut yang kurang memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutannya akan memberi efek negative dalam banyak hal.
Misalnya, penangkapan ikan yang melebihi batas lestari, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bahan peledak dan sianida), pencemaran (logam berat, minyak dan pestisida), konversi lahan, dan pariwisata yang tidak trerkelola dengan baik.
Seiring dengan pertambahan penduduk yang diikuti oleh perkembangan gaya hidup manusia modern, maka permintaan pasar global terhadap pemenuhan kebutuhan penduduk pun semakin meningkat.
Sekitar enam puluh persen penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan perekonomian seperti perdagangan, perikanan laut, budidaya perikanan, transportasi laut, dan pariwisata berkonsentrasi di wilayah pesisir.
Deforestrasi hutan mangrove, degradasi terumbu karang, kerusakan padang lamun di kawasan pesisir dan laut mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut, serta penambangan pasir laut secara ilegal masih menjadi tantangan besar dalam pembangunan sumberdaya kelautan dan masih memerlukan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.
Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum (illegal fishing) hingga hari ini masih merupakan persoalan yang cukup serius dan menjadi bentuk gangguan keamanan sumberdaya laut, berdampak buruk bagi terbangunnya pengelolaan pesisir dan laut secara lestari.
Penangkapan melanggar hukum (illegal), tidak dilaporkan (unreported) dan tidak diatur (unregulated) yang menurut istilah FAO yaitu IIU Fishing tersebut terjadi di Indonesia dan sulit diberantas sejak tahun 1970-an sampai sekarang, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam.
Bentuk-bentuk Illegal fishing
Salah satu bentuk illegal Fishing yang terjadi adalah penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing atau yang berbendera Indonesia di perairan nusantara dengan berbagai modus operandi, seperti tanpa dokumen izin, pelanggaran daerah penangkapan (fishing ground), menyalahi ketentuan alat tangkap, melabuhkan hasil tangkapannya di negara lain.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga terjadinya kegiatan penankapan yang illegal, misalnya, telah terjadinya Over Fishing di negara-negara tetangga yang kemudian mencari daerah tangkapan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pemasarannya.
Selain itu juga didukung dengan sistem penegak hukum di laut kita masih sangat lemah, tidak sebanding antara luas laut dan kekuatan yang ada, sehingga para pelanggar leluasa dalam melaksanakan kegiatannya.
Bentuk lainnya adalah dilakukan oleh nelayan kita sendiri yaitu penangkapan dengan bahan peledak dan cara membius dengan menggunakan sianida. Menggunakan bahan peledak dalam penangkapan ikan merupakan cara yang tidak saja mudah dilakukan dan tanpa menggunakan tenaga kerja yang banyak, tetapi juga tidak membutuhkan biaya yang besar.
Tropical Research and Conservation Centre (TRACC) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnya kurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15 hingga 25 meter.
Sedangkan kerugian secara ekologis dengan metode penangkapan membius, dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampu mematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3 hingga 6 bulan.
Namun dengan metode pengeboman ini nelayan bisa mendapatkan income sekitar 4 kali lipat dibanding bila menggunakan cara biasa, meskipun sebenarnya mereka telah lama memahami secara turun temurun dan telah mengalami dampak kegiatan tersebut membahayakan perkembangan ikan dan menghancurkan terumbu karang sebagai habitat mereka hidup, sehingga dapat menurunkan stok sumberdaya ikan secara keseluruhan.
Praktek illegal fishing yang tentunya jauh dari prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dipicu oleh tingginya kebutuhan ekonomi masyarakat, sementara kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pesisir relative rendah, tingkat teknologi eksploitasi armada penangkapan ikan rendah serta law enforcement dan penegakannya di laut masih lemah.
Akibatnya, setiap tahun terjadi penurunan jumlah stok ikan yang tertangkap, suplai bahan industry perikanan pun berkurang dan memaksa keluarnnya kebijakan pemerintah terhadap impor ikan.
Gangguan keamanan sumberdaya laut akibat illegal fishing tersebut bukan saja berdampak bagi negara kita yang menurut hasil perhitungan yang pernah dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh kegiatan IIU Fishing berkisar antara 1,8 sampai 4 milliar dollar US per tahun, akan tetapi juga merupakan persoalan dunia karena dampak kerusakan yang ditimbulkan sangat besar dalam skala luas serta pemulihannya memerlukan investasi besar dan waktu lama.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan tidak boleh lagi hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana mencapai hasil tangkapan yang maksimum, namun harus berdasarkan prinsip tata laksana perikanan yang bertanggungjawab yakni mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatannya baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan.
Tentunya, semuanya perlu di tata dalam sebuah kebijakan kelautan nasional (national ocean policy), sebagai basis menjalankan program pembagunan kelautan yang mencakup dan memadukan kepentingan sektoral.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Kelautan & Perikanan Unhas
Andi Iqbal Burhanuddin
Jl. Sunu FX-5 Kompl Unhas Baraya, Makassar
iqbalburhanuddin@yahoo.com
0811441491
(wwn/wwn)