Views :206 Times |
Kamis, 01 Maret 2012 13:12 |
Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menurun bahkan cenderung semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, kolusi dan suap, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, serta tidak mempedulikan lingkungan hidup merupakan contoh pengabaian pengusaha terhadap etika bisnis. Mungkin ada yang bertanya, apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika? Bukankah bisnis dan etika merupakan dua hal yang berbeda? Sering pula ada anggapan bahwa etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori, pada kenyataannya, jika mau untung, sering kali kita melupakan etika. Benarkah demikian? Sebelumnya kita harus mengetahui pengertian etika. Banyak definisi yang berkaitan dengan etika. Etika berbeda dengan hukum atau regulasi. Jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata. Sedangkan melanggar etika, sanksinya tidak jelas, hanya sanksi moral semata atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Maka, melanggar etika belum tentu berarti melanggar hukum. Akibatnya, sering etika tidak begitu diperhatikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan etika adalah, "Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)". Menurut Wikipedia etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Tetapi, menurut John Calvin, etika tertinggi adalah dari pencipta manusia. Hukum yang Tuhan berikan justru memberikan kebebasan bagi manusia untuk benar-benar menjadi manusia seutuhnya yang sesuai dengan keinginan Pencipta. Seharusnya, sanksi moral yang umumnya tidak jelas merupakan sanksi yang paling berat bagi umat beriman. Kita seringkali terjebak dengan apa yang terlihat dan menempatkannya sebagai sesuatu yang lebih bernilai daripada hal-hal yang tidak kelihatan. Kita tidak menyadari bahwa sangat banyak hal yang tidak kelihatan, tapi justru memiliki porsi yang luar biasa besar dan penting. Sebagai contoh, seorang pedagang kamera menjual kamera dengan mutu rendah atau cacat. Penjual berhasil menyembunyikan cacat itu, sehingga tidak diketahui oleh pembeli. Penjual mengingatkan pembeli bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar atau dikembalikan. Setelah beberapa waktu, pembeli komplain dan meminta untuk menggantinya. Penjual berdalih, bahwa waktu terjadi transaksi barangnya baik-baik saja. Salahkah si penjual. Secara hukum bisa jadi benar. Tetapi, dari sisi etika bisnis, jelas-jelas salah. Dari semula sebenarnya penjual mengetahui barang tersebut ada cacatnya, tetapi tidak memberitahu si pembeli. Dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memperhatikan etika mungkin mendatangkan keuntungan. Tetapi, dalam jangka panjang, akan terbentuk opini masyarakat mengenai toko tersebut, yaitu menjual barang rusak atau cacat. Lambat laun pembeli cenderung menurun. Jadi, sanksi etika itu hanya berbentuk sanksi moral dan baru terlihat dalam jangka panjang. Contoh di atas memperlihatkan bahwa etika itu penting. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat, karena bukan hukum. Tetapi, dalam praktik bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi pedoman bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Pengabaian etika bisnis tidak hanya berdampak kerugian bagi masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka. Peribahasa mengatakan, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Ketika seseorang meninggal, ia akan meninggalkan namanya. Problemnya adalah apa yang dilakukan semasa ia hidup. Banyak orang yang mengejar "fast money and easy money" dengan segenap tenaga, bahkan tidak memikirkan orang lain. Apakah orang akan mengenang namanya karena banyaknya uang yang dimiliki? Mungkin namanya akan rusak karena banyak orang dirugikan semasa ia hidup. Kita harus bekerja baik baik, peduli terhadap orang lain atau pun juga alam sekitar, agar reputasi kita dikenang dengan baik nantinya Bisnis pada waktu dulu hanya berdasarkan kepercayaan antarindividu. Tidak berbelit-belit dan rumit seperti sekarang. Kita bisa melihat kesederhanaan di dalamnya, Sederhana itu tetap yang terbaik. Namun, seiring "kemajuan" zaman, standar moral etika pun mengalami kemunduran luar biasa. Etika kerap dengan gampang dilanggar karena ego individu yang tak terkendalikan, dalam hal ini adalah pelaku bisnis yang serakah. (*/dari berbagai sumber) |
Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/amankan-bisnis/14860-jangan-melupakan-etika-berbisnis.html