Bertandang ke sentra buah langka alkesa (1)
Oleh Noverius Laoli - Rabu, 29 Februari 2012 | 13:34 WIB
Alkesa punya nama latin Pouteria campechiana. Tanaman ini termasuk jenis sawo-sawoan, yang tinggi pohonnya bisa mencapai 10 meter. Warna buahnya kuning bersih.
Para pedagang di Kampung Margaluyu, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Bandung Barat ini, lebih mengenal buah ini sebagai sawo walanda. Maklum, pohon sawo yang berasal dari Guatemala, Meksiko ini banyak ditemukan di gedung-gedung peninggalan Belanda.
Muhammad Yayat, 56 tahun, pemilik salah satu kios sawo di Margaluyu, Jalan Raya Cipatat menceritakan, sentra penjualan buah alkesa mulai pada awal tahun 2000-an. Awalnya hanya ada sekitar tiga kios pedagang sawo. Mereka berasal dari daerah Citatah.
Namun, karena banyak pembeli, terutama pengendara yang melintas dari Puncak menuju Bandung, masyarakat di sekitar Margaluyu pun ikut berbondong-bondong berdagang buah alkesa. Mereka memperoleh buah dari beberapa daerah seperti, Cikalong Wetan, Cirawa, dan Rajamandala, Jawa Barat.
Yayat sendiri sudah berdagang alkesa selama delapan tahun. Ia merasakan penjualan saat ini tidak seramai penjualan delapan tahun silam. Maklum, kini ia harus berbagi rezeki dengan pedagang lain.
Yayat menjual alkesa seharga Rp 20.000 per ikat. Satu ikat terdiri dari 10 buah hingga 12 buah alkesa. Dalam sehari, di satu kios Yayat bisa menjual rata-rata tujuh sampai delapan ikat, sehingga ia meraup omzet sebesar Rp 160.000 per kios.
Nah, di tempat ini ia punya tiga kios, yang dijaga oleh anak dan istrinya. Alhasil tiap bulan omzet tiga kios ini bisa mencapai Rp 14 juta - Rp 15 juta. Adapun laba bersih sekitar 35% dari omzet.
Nono, 45 tahun punya pengalaman lain. Sehari ia mengaku bisa menjual rata-rata 7 ikat dengan harga Rp 20.000 per ikat. Ia baru punya satu kios karena baru berdagang enam bulan lalu. Omzet Nono per hari rata-rata Rp 140.000 atau Rp 4,5 juta sebulan. Karena kiosnya kecil laba yang ia raup hanya sekitar 25% dari omzet.
Meski mulai langka, pedagang mengaku tak kesulitan mendapat pasokan buah alkesa. Sebab, pohon alkesa berbuah sepanjang tahun. Tapi, pedagang harus membeli dari petani, menjelang buah ini matang, agar bisa tahan selama seminggu.
Pakanda (60 tahun), salah satu penjual alkesa bilang, karena tak bisa tahan lama, tak jarang ia jual obral, per ikat sekitar Rp 15.000. Rata-rata per hari ia bisa menjual sebanyak 6-8 ikat alkesa dengan omzet Rp 120.000 - Rp 150.000 per hari.
Sentra alkesa: Omzetnya berlipat di akhir pekan (2
Oleh Noverius Laoli - Kamis, 01 Maret 2012 | 13:10 WIB
Setiap akhir pekan, sentra buah alkesa di Jalan Cipatat, Jawa Barat selalu dibanjiri pembeli. Jumlah pembeli juga membeludak saat libur panjang, seperti libur sekolah, Idul Fitri, dan Natal. Alhasil, omzet pedagang melonjak. Untuk mengantipasi permintaan, mereka menstok buah dalam jumlah besar.Sentra buah Alkesa yang berada di Kampung Margaluyu, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat biasanya ramai dikunjungi pada saat akhir pekan dan libur panjang. Maklum, di akhir pekan banyak warga Jakarta, Bogor, dan Cianjur berkunjung ke Bandung melewati puncak.
Para pedagang buah alkesa ini mangkal di sepanjang Jalan Raya Cipatat. Muhammad Yayat, pemilik salah satu kios buah alkesa bilang, setiap akhir pekan, calon pembeli yang mendatangi kiosnya melonjak hingga 100%.
"Selain akhir pekan, pembeli juga banyak berdatangan saat libur panjang, seperti liburan sekolah, Idul Fitri, Natal, dan tahun baru," ujarnya.
Pada hari biasa, Yayat hanya bisa menjual rata-rata delapan ikat buah alkesa dengan harga Rp 20.000 per ikat. Sementara di akhir pekan, ia bisa menjual hingga 25 ikat per hari.
Penjualan saat libur panjang, seperti Idul Fitri, Natal, dan tahun baru bisa lebih tinggi lagi. "Saat itu kami bisa menjual sampai 50 ikat per hari," jelasnya.
Yayat mengaku, omzetnya pada hari biasa rata-rata sebesar Rp 160.000. Di akhir pekan, bisa melonjak hingga mencapai Rp 300.000 - Rp 400.000 per hari. Yayat sendiri memiliki tiga kios. Kalau ramai, Yayat bisa mendapatkan omzet Rp 1,2 juta dalam sehari.
Berbeda lagi saat liburan panjang. Ia bisa meraup omzet dua kali dari yang didapat pada akhir pekan.
Karena pengguna Jalan Raya Cipatat cukup ramai, Yayat membuka kiosnya selama 24 jam. Jadi, praktis seluruh aktivitasnya, seperti memasak, makan, dan tidur dilakukan di kios. "Saya, istri, dan anak saya masing-masing menjaga satu kios," katanya.
Tapi, karena tidak setiap jam selalu ada pembeli, mereka pun agak santai menjajakan dagangannya. Kecuali saat akhir pekan dan liburan panjang. Bila masa libur tiba, Yayat telah memesan dua sampai sembilan kuintal alkesa dari para petani di daerah Cikalong, Jawa Barat.
Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi membeludaknya permintaan. Kalau tidak pesan duluan, ia bakal kesulitan mendapatkan alkesa dari petani. "Sebab sudah keduluan pedagang lain," ujarnya.
Maklumlah, hampir semua pedagang di sentra ini mengalami lonjakan permintaan di akhir pekan. Contohnya Pakanda, pedagang lain yang sudah enam tahun berjualan di sentra tersebut.
Ia bilang, saat akhir pekan bisa menjual 15-20 ikat alkesa per hari. Saat libur panjang, penjualannya malah bisa mencapai 25-30 ikat per hari. "Omzet saya di hari biasa Rp 150.000, tapi kalau akhir pekan dan liburan panjang Rp 250.000-Rp 350.000 per hari," jelas Yayat. Begitu pula Nono yang mengaku omzetnya naik dua kali lipat dibandingkan dengan hari biasa.
Untuk menarik perhatian pembeli, Pakdan selalu memajang buah yang warnanya sudah kuning. Sementara, yang masih hijau disimpan dalam karung sampai warnanya kuning. "Pelanggan lebih suka warna kuning bersih," ujarnya.
Sentra alkesa: Pedagang tanam alkesa sendiri (3)
Oleh Noverius Laoli - Jumat, 02 Maret 2012 | 15:59 WIB
Sebagai tanaman buah langka, buah alkesa sulit ditemukan di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya, para pedagang buah alkesa yang mangkal di sepanjang Jalan Raya Cipatat, Bandung, Jawa Barat mulai menanam sendiri buah yang berasal dari Guatemala, Meksiko ini.
Hal itu dilakukan demi menjaga pasokan buah ke kios. Selama ini, untuk memenuhi pasokan, mereka sangat bergantung kepada petani buah alkesa dari desa lain, seperti Cikalong Wetan, Cirawa, Rajamandala, dan Ciranjang. Semua daerah tersebut masih berada di wilayah Jawa Barat.
Nah, belakangan, pedagang yang mayoritas berasal dari Kampung Margaluyu, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat itu mulai membudidayakan buah tersebut. Kegiatan budidaya buah ini mulai dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya, sama sekali tidak ada tanaman alkesa di kampung itu. "Saya bersama beberapa pedagang lain mulai menanam alkesa di sekitar pekarangan rumah," kata Muhammad Yayat, pemilik salah satu kios buah alkesa.
Yayat mengaku, telah menanam tiga pohon alkesa di pekarangan rumahnya. Jumlahnya baru sedikit karena membudidayakan tanaman ini memang tidak mudah. "Pohon walanda (alkesa) ini susah hidup di tempat biasa," keluhnya.
Pohon ini hanya dapat tumbuh subur di daerah subur dan dingin. Selain itu, butuh perawatan ekstra. Makanya, kebanyakan petani menanam buah ini di sekitar pekarangan rumah mereka.
Selain memudahkan perawatan, buah ini juga sulit dikembangkan di kebun. Kebanyakan jika ditanam di kebun justru menjadi layu.
Sejauh pengetahuan Yayat, tidak ada petani alkesa yang sengaja memiliki kebun khusus untuk membudidayakan buah ini. Bahkan, beberapa petani yang menjadi langganannya hanya menanam tiga sampai lima pohon di pekarangan rumahnya.
"Contohnya di Cikalong, hampir satu kampung warga di situ menanam pohon alkesa di pekarangan rumah mereka," terangnya.
Kendati jumlah pohon yang ditanam sedikit, tapi tanaman ini mampu berbuah sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Setelah berbuah hingga tua dan dipetik, pohonnya kembali berbunga, demikian seterusnya.
Selain itu, buah alkesa juga tergolong banyak. Dalam satu pohon yang tingginya mencapai 10 meter, bisa menghasilkan sebanyak 2 kuintal alkesa.
Sama halnya Yayat, pedagang lainnya, Nono juga mulai membudidayakan tanaman ini. Saat ini, ia telah berhasil menanam satu batang pohon alkesa di pekarangan rumahnya. Awalnya, ia menanam lima pohon. "Tapi yang berhasil hidup cuma satu pohon dan sekarang sudah mulai berbuah," ujarnya.
Menurut Nono, menanam alkesa tergolong susah. "Sebab Pohon ini tidak bisa hidup di sembarang tempat," ujar Nono.
Tapi tidak semua pedagang menanam buah ini. Contohnya Pakanda yang memilih tidak menanam alkesa. Ia tidak berminat menanam karena buah ini sulit dibudidayakan. Untuk pasokan, ia tetap mengandalkan dari para petani. "Saat ini saya sudah memiliki langganan yang setiap saat mau mengantar ke kios," ujarnya.
Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/bertandang-ke-sentra-buah-langka-alkesa-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-alkesa-omzetnya-berlipat-di-akhir-pekan-2/2012/03/01
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-alkesa-pedagang-tanam-alkesa-sendiri-3/?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter