Mengintip hilir rumput laut
Kebijakan buka tutup ekspor menjamin pasokan bahan baku
Rumput laut menjadi komoditas utama pemacu peningkatan hasil laut. Namun sejauh ini, peran Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang komiditas itu. Sementara, nilai tambah industri berbasis rumput laut yang dinikmati di dalam negeri masih jauh panggang dari api. Setidaknya sekitar 20 unit pabrik pengolahan rumput laut di dalam negeri pun belum beroperasi optimal karena alasan bahan baku.
Itu mengapa Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang karena bahan baku rumput laut lebih banyak mengalir ke negara lain, seperti China dan Filipina. Nilai tambah produk olahannya pun lebih banyak dinikmati negara lain dan masuk ke Indonesia sebagai barang konsumsi impor. Ironis!
Tidak berlebihan jika pemerin-, tah berencana menerapkan kebijakan buka tutup ekspor rumput laut pada 2012 untuk mengoptimalkan suplai bahan baku komoditas ini ke industri hilir di dalam negeri. Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Nikijuluw menuturkan lima unit pabrik pengolahan rumput laut ini akan berdiri di Semarang, Surakarta, Maumere, Pulau Seram Barat, dan Sulawesi Tenggara.
"Lima industri pengolahan ini diperkirakan akan menyerap 300 ton hingga 500 ton per bulan rumput laut kering. Investasi setiap pabrik diperkirakan mencapai Rp30 miliar hingga RpSO miliar," ujarnya kemarin. Menurut dia, upaya ini untuk membuka industri pengolahan rumput laut ini sebagai persiapan rencana diberlakukannya sistem buka tutup untuk ekspor rumput laut.
Victor menyatakan saat ini 85% impor produk rumput laut dikirimkan ke China, Filipina, dan Malaysia, sementara sisanya dipasok untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retrau-bun menyatakan Indonesia membutuhkan investasi baru hingga Rpl triliun dalam 5 tahun ke depan untuk membangun industri pengolahan rumput laut.
"Selama puluhan tahun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 600.000 ton rumput laut kering per tahun atau setara dengan 50% produksi dunia yang mencapai 1,2 juta ton pertahun."
Namun demikian, keluhnya, sebagian besar produksi rumput laut masih diekspor dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai tambah rendah.
"Struktur industri rumput laut di dalam negeri masih kosong. Dibutuhkan investasi Rp600 mi-liar-Rpl triliun untuk mengembangkan industri pengolahannya. Padahal, potensi bahan baku kita ini besar dan hampir seluruhnya diekspor."
Banyak kendala
Victor megakui banyak kendala yang dirasakan oleh industri pengolahan rumput laut ini. Setidaknya sekitar 20 industri pengolahan tidak semua utilisasinya maksimal. Hal itu disebabkan oleh pengusaha enggan untuk mencadangkan bahan baku rumput laut.
Pengusaha merasa bisa mendapatkan rumput laut kapan saja dengan demikian mereka tidak pernah memenuhi gudang dengan maksimal. Selain itu, katanya, banyak pedagang yang membeli rumput laut dari petani dan bersaing dengan industri pengolahan rumput laut ini.
"Jadi ketika pedagang ini memberikan harga yang lebih besar dibandingkan industri dengan selisih yang sebenarnya tidak terlalu signifikan, petani condong menjual pada harga beli yang lebih tinggi," katanya. Menurut Victor, industri memang tidak dapat memberikan harga yang terlalu tinggi karena sudah berinvestasi pada pola kemitraan dan pembinaan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah mendorong agar industri dapat mengembangkan pola kemitraan dengan petani. Dengan demikian, katanya, aksi beli rumput laut secara on the spot dapat berubah menjadi kontrak yang jangka panjang.
Di sisi lain, katanya, hal ini .ikan mengikat petani agar tidak menjual rumput laut ke pedagang lain. Menyoal keterlibatan perbankan, Alex optimistis potensi bisnis rumput laut ini lambat laun akan dilirik perbankan sehingga masalah pendanaan bagi sektor ini dapat dicarikan jalan keluarnya.
"Industri ini bahkan telah dimasukkan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pionir untuk mendapatkan fasilitas pajak," tegasnya. Rumput laut, ujarnya, merupakan komoditas yang dapat berkembang subur di perairan Indonesia. Dengan masa tanam yang relatif singkat yakni hanya 45 hari, komoditas ini justru bisa dijual dengan harga relatif tinggi yakni sekitar Rp7.000-Rp 10.000 per kg.
Di dalam rancangan cetak biru industri rumput laut nasional, lanjut Alex, Kemenperin akan mendongkrak produksi rumput laut hingga 389% dari 2,57 juta ton menjadi 10 juta ton pada 2014. Yang terpenting sebenarnya adalah koordinasi dua instansi ini, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selama ini, dua instansi ini masih memiliki kebijakan yang tumpang-tindih untuk mengembangkan rumput laut.
Jika rumput laut memang layak dijadikan komoditas ung-gulanjebih baik pemerintah segera mengambil komitmen nasional. Mengandalkan Kemenperin atau KKP saja, rumput laut hanya akan berhenti dijual kering seperti selama ini. (dieno.lestari@-bisnts.co. id/aprikn. hemanda@bisnis. co.id)Mengintip hilir rumput laut
Kebijakan buka tutup ekspor menjamin pasokan bahan baku
OLEH DIENA LESTARI
&
APRIKA R. HERNANDA
Bisnis Indonesia
Rumput laut menjadi komoditas utama pemacu peningkatan hasil laut. Namun sejauh ini, peran Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang komiditas itu. Sementara, nilai tambah industri berbasis rumput laut yang dinikmati di dalam negeri masih jauh panggang dari api. Setidaknya sekitar 20 unit pabrik pengolahan rumput laut di dalam negeri pun belum beroperasi optimal karena alasan bahan baku.
Itu mengapa Indonesia hanya berhenti sebagai pedagang karena bahan baku rumput laut lebih banyak mengalir ke negara lain, seperti China dan Filipina. Nilai tambah produk olahannya pun lebih banyak dinikmati negara lain dan masuk ke Indonesia sebagai barang konsumsi impor. Ironis!
Tidak berlebihan jika pemerin-, tah berencana menerapkan kebijakan buka tutup ekspor rumput laut pada 2012 untuk mengoptimalkan suplai bahan baku komoditas ini ke industri hilir di dalam negeri. Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Nikijuluw menuturkan lima unit pabrik pengolahan rumput laut ini akan berdiri di Semarang, Surakarta, Maumere, Pulau Seram Barat, dan Sulawesi Tenggara.
"Lima industri pengolahan ini diperkirakan akan menyerap 300 ton hingga 500 ton per bulan rumput laut kering. Investasi setiap pabrik diperkirakan mencapai Rp30 miliar hingga RpSO miliar," ujarnya kemarin. Menurut dia, upaya ini untuk membuka industri pengolahan rumput laut ini sebagai persiapan rencana diberlakukannya sistem buka tutup untuk ekspor rumput laut.
Victor menyatakan saat ini 85% impor produk rumput laut dikirimkan ke China, Filipina, dan Malaysia, sementara sisanya dipasok untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retrau-bun menyatakan Indonesia membutuhkan investasi baru hingga Rpl triliun dalam 5 tahun ke depan untuk membangun industri pengolahan rumput laut.
"Selama puluhan tahun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 600.000 ton rumput laut kering per tahun atau setara dengan 50% produksi dunia yang mencapai 1,2 juta ton pertahun."
Namun demikian, keluhnya, sebagian besar produksi rumput laut masih diekspor dalam bentuk bahan mentah sehingga nilai tambah rendah.
"Struktur industri rumput laut di dalam negeri masih kosong. Dibutuhkan investasi Rp600 mi-liar-Rpl triliun untuk mengembangkan industri pengolahannya. Padahal, potensi bahan baku kita ini besar dan hampir seluruhnya diekspor."
Banyak kendala
Victor megakui banyak kendala yang dirasakan oleh industri pengolahan rumput laut ini. Setidaknya sekitar 20 industri pengolahan tidak semua utilisasinya maksimal. Hal itu disebabkan oleh pengusaha enggan untuk mencadangkan bahan baku rumput laut.
Pengusaha merasa bisa mendapatkan rumput laut kapan saja dengan demikian mereka tidak pernah memenuhi gudang dengan maksimal. Selain itu, katanya, banyak pedagang yang membeli rumput laut dari petani dan bersaing dengan industri pengolahan rumput laut ini.
"Jadi ketika pedagang ini memberikan harga yang lebih besar dibandingkan industri dengan selisih yang sebenarnya tidak terlalu signifikan, petani condong menjual pada harga beli yang lebih tinggi," katanya. Menurut Victor, industri memang tidak dapat memberikan harga yang terlalu tinggi karena sudah berinvestasi pada pola kemitraan dan pembinaan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah mendorong agar industri dapat mengembangkan pola kemitraan dengan petani. Dengan demikian, katanya, aksi beli rumput laut secara on the spot dapat berubah menjadi kontrak yang jangka panjang.
Di sisi lain, katanya, hal ini .ikan mengikat petani agar tidak menjual rumput laut ke pedagang lain. Menyoal keterlibatan perbankan, Alex optimistis potensi bisnis rumput laut ini lambat laun akan dilirik perbankan sehingga masalah pendanaan bagi sektor ini dapat dicarikan jalan keluarnya.
"Industri ini bahkan telah dimasukkan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pionir untuk mendapatkan fasilitas pajak," tegasnya. Rumput laut, ujarnya, merupakan komoditas yang dapat berkembang subur di perairan Indonesia. Dengan masa tanam yang relatif singkat yakni hanya 45 hari, komoditas ini justru bisa dijual dengan harga relatif tinggi yakni sekitar Rp7.000-Rp 10.000 per kg.
Di dalam rancangan cetak biru industri rumput laut nasional, lanjut Alex, Kemenperin akan mendongkrak produksi rumput laut hingga 389% dari 2,57 juta ton menjadi 10 juta ton pada 2014. Yang terpenting sebenarnya adalah koordinasi dua instansi ini, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selama ini, dua instansi ini masih memiliki kebijakan yang tumpang-tindih untuk mengembangkan rumput laut.
Jika rumput laut memang layak dijadikan komoditas ung-gulanjebih baik pemerintah segera mengambil komitmen nasional. Mengandalkan Kemenperin atau KKP saja, rumput laut hanya akan berhenti dijual kering seperti selama ini.
Sumber : Bisnis Indonesia Hal :i7