Politik dan Kebijakan Perikanan |
Tak ada yang bisa memungkiri bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan yang dikelilingi oleh Perairan. Potensi perairan yang terkandung di bumi Indonesia adalah keberkahan yang tak ternilai harganya. Dalam tataran yang lebih mikro, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah salahsatu daerah di wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang dianugerahi perairan yang begitu luas. Lautan yang terbentang menghampar luas dengan total luasannya 65.301 Km2. Ditambah dengan perairan daratan yang berbentuk sungai dan kolong-kolong dengan jumlah yang ribuan. Sebuah keanehan yang nyata bila dengan potensi perairan yang dimiliki, basis pengembangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak bertumpu pada sektor perairan. Potensi Perairan di Indonesia adalah domain garapan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian inilah yang mengeluarkan Kebijakan-kebijakan berkenaan dengan pengelolaan, pemanfaatan termasuk penegakan hukum di sektor perairan. Di era otonomi daerah, sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 18, daerah yang memiliki laut berwenang untuk mengelola wilayah perairan laut di daerahnya. Pada tataran prakteknya, pelaksanaan pengelolaan perairan di daerah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi untuk wilayah Provinsi dan Dinas kelautan dan Perikanan Kabupaten untuk wilayah Kabupaten. Orientasi Pengelolaan sektor perairan harus mampu memenuhi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Oleh karena itu dibutuhkan Kebijakan-kebijakan di sektor perikanan yang pro rakyat. Kebijakan yang dimaksud mulai dari peraturan perundang-undangan sampai dengan pada tataran program kerja yang akan diterapkan oleh dinas. Lebih dari itu, tak hanya sebatas program kerja saja namun harus ada working hard dan smart ability untuk merelisasikan program kerja tersebut. Konsep Trias politika di Indonesia menempatkan bahwa legalisasi UU/anggaran ada di tangan DPR/DPRD (legislatif), sedangkan ranah pembuat dan pelaksana kebijakan pembangunan di tangan eksekutif serta ranah hukum pada yudikatif. Berangkat dari konsep itulah maka kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan. Setiap konsep dan Penerapan kebijakan tidak pernah lepas dari proses politik yang mengiringi kebijakan tersebut. Termasuk Kebijakan di sektor perikanan dan kelautan. Sebut saja UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan yang disempurnakan dengan UU No. 45 tahun 2009 yang merupakan dasar hukum kebijakan perikanan lahir melalui proses politik. Penetapan anggaran pemerintah dibidang perikanan-pun harus melalui proses politik di rapat paripurna DPR untuk pemerintah pusat dan atau rapat paripurna DPRD untuk tingkat provinsi/kabupaten. Sampai kemudian ditataran realisasi anggaran dalam bentuk program kerja, proses politik ada didalamnya. Proses politik yang dimaksud dalam tataran program kerja adalah proses politik yang berkenaan dengan strategi dan cara dalam menyukseskan program tersebut serta muatan dalam pelaksanaannya. Politik menempati peranan yang paling penting dalam pembangunan di Indonesia. Secara makro politik memiliki definisi yang mencakup cara dalam memformulasikan effort untuk mensukseskan tujuan yang diharapkan. Namun sayang terkadang kemampuan politik tidak dimiliki oleh eksekutif sebagai pengambil dan pelaku kebijakan. Rentannya kelemahan pengambil dan pelaku kebijakan perikanan dalam hal politik terlihat dengan merajalelanya kerusakan perairan di bumi serumpun sebalai. Belum terlihat bargaining atau usaha-usaha politik yang diambil oleh para pelaku kebijakan untuk menancapkan panji perikanan dengan mengelaminir quo vadis dari kegiatan pertambangan (kapal isap/TI apung) yang merusak perairan. Belum terlihat langkah konkrit yang dilakukan oleh pelaku kebijakan perikanan yang memiliki kekuasaan terhadap perairan untuk memperjuangkan dan mengkampanyekan kelestarian perairan dari kegiatan kapal isap dan TI apung. Dalam UU no. 31 tahun 2004 pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Hukuman terhadap pelanggaran pasal 12 ayat 1 terdapat dalam pasal 86 ayat 1 UU No. 31 tahun 2004 yang berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Merujuk pada UU ini maka secara jelas, sah dan meyakinkan bahwa aktivitas Kapal Isap dan TI apung yang mencemari perairan dan merusak sumberdaya ikan serta lingkungan periaran adalah pelanggaran. Namun pada kenyataannya sampai dengan detik ini kapal isap dan TI apung terus beroperasi, banyak penyebab hal tersebut. Pertanyaannya adalah telahkah para pelaku kebijakan dibidang perikanan menjadi pionir dalam mengkampanyekan dan mendorong penegakan UU ini? Saat ini mata masyarakat masih memandang sebelah pada sektor perikanan. Ini terjadi karena belum ada bukti nyata kesuksesan pembangunan dibidang perikanan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Karenanya kemudian aktivitas penambangan timah dan TI apung terus beroperasi. Ada sebuah keyakinan besar bahwa ketika para pelaku kebijakan mampu membangun perikanan yang maju maka secara perlahan masyarakat akan beralih profesi dari penambangan timah ke sektor perikanan. Namun sampai detik ini bidang perikanan belum berbicara banyak. Kelemahan skill politik para pelaku kebijakan perikanan untuk meyakinkan pihak legislatif dalam mensahkan kebijakan perikanan adalah salahsatu penyebabnya. Tak jarang karena program kerja yang diusulkan dimentahkan oleh legislatif, para pelaku kebijakan perikanan menjalankan program yang sporadis, asal-asalan dan tak berarah. Kompleks memang. Orientasi politik adalah untuk kepentingan rakyat maka kemakmuran rakyat adalah segala-galanya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Skill politik mutlak dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan perikanan. Skill politik bukan berarti mempolitisi perikanan untuk tendensi pribadi namun skill politik untuk memperjuangkan pembangunan perikanan bagi kepentingan rakyat dan kelestarian perairan. Skill politik yang digunakan untuk mensukseskan pembangunan perikanan dan menjadikan perikanan sebagai leading sector di Bangka Belitung. |