Optimistis Menjadi Produsen Perikanan Terbesar di Dunia
Potensi Indonesia yang sangat besar dalam bidang perikanan, baik dari sumber daya alam, luas lahan dan iklim yang kondusif, penguasaan teknologi, serta ketersediaan sumber daya manusianya, membuat ada optimisme kita bisa menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Pasarnya pun masih terbuka lebar. Untuk itu, diperlukan upaya keras dan berbagai terobosan untuk menanggapi yang terbesar tersebut.
Target ini akan tercapai jika ada keseriusan dari Kementerian Kelaputan dan Perikanan (KKP) dan dukungan semua sektor, seperti Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, kalangan perbankan, dan lembaga-lembaga riset. Mampukah Indonesia mencapai produsen perikanan terbesar menjadi tema tulisan laporan khusus kali ini yang dibuat wartawan SP, Sumedi TP.
SP/YC Kurniantoro
Pekerja memanen ikan patin di Instalasi Budidaya Ikan Lahan Gambut Pulang Pisau di Desa Garung, Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Seekor ikan patin di tempat itu dapat mencapai berat 3 kilogram dan dijual kepada warga sekitar dengan harga Rp 11.000 per kilogram. Lokasi tersebut akan dijadikan sentra penellitian dan pengembangan ikan di lahan gambut se-Indonesia.
Indonesia mempunyai target fantastis, menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada 2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombaknya. Produksi perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16,89 juta ton pada 2014 atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 sebesar 4,78 juta ton.
Terget ambisius Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad bukannya tanpa alasan. Dia melihat potensi yang sangat besar, baik dari sumber daya alam, luas lahan dan iklim yang kondusif, penguasaan teknologi, serta ketersediaan sumber daya manusianya. Pasarnya pun masih terbuka lebar. Untuk itu, diperlukan upaya keras dan berbagai terobosan.
Target ini akan tercapai jika ada keseriusan dari KKP sendiri dan dukungan semua sektor, seperti Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, kalangan perbankan, dan lembaga-lembaga riset. Petambak, misalnya, memerlukan modal, dukungan infrastruktur, keterampilan manajemen, dan teknologi modern.
Menurut Fadel, Thailand, Filipina, dan Vietnam bisa merajai sektor perikanan internasional karena ada dukungan penuh dari sektor-sektor terkait. Padahal, luas lahan untuk budidaya perikanan di negara-negara itu jauh lebih kecil dari Indonesia, juga jumlah pembudidayanya. Di subsektor perikanan tangkap pun seharusnya kita jauh lebih unggul karena memiliki perairan yang sangat luas.
Indonesia memiliki sungai-sungai yang panjang dan besar, juga danau dan lahan basah yang sangat luas. Tenaga kerja pun berlimpah yang dalam waktu singkat dapat dididik dan dilatih serta diberi modal untuk berusaha di bidang perikanan. Jaringan distribusi harus dibangun, juga tempat penyimpanan yang terpadu, terutama mesin pendingin (cold starage) statis dan bisa berpindah, serta jaminan pasar.
Untuk memenuhi permintaan dalam negeri saja masih kewalahan, apalagi menjawab pasar internasional yang trennya terus meningkat. Di negara-negara maju, makan ikan sudah menjadi keharusan karena faktor pentingnya menjaga kesehatan. Jepang menjadi bangsa yang sehat dan cerdas karena budaya makan ikan setiap hari, dengan variasi menu yang kaya, bahkan dalam keadaan mentah yang segar.
Fadel yakin, target produksi perikanan yang dicanangkan secara nasional akan mendorong perikanan dilihat sebagai sumber ekonomi baru nasonal. Untuk mendukung itu, balai pembenihan dan budidaya ikan serta pusat-pusat pelatihan sudah dibangun di banyak daerah. Walaupun dinilai masih kurang dibandingkan potensinya, fasilitas itu harus dimanfaatankan secara maksimal.
Balai Layanan Usaha
Dirjen Perikanan Budidaya Made L Nurdjana mengemukakan, KKP memiliki 13 balai layanan usaha (BLU) budidaya perikanan di 13 wilayah. Siapa pun bisa belajar budi daya ikan di balai tersebut. Salah satu yang terbaik dan menjadi percontohan adalah BLU Produksi Perikanan Budidaya Karawang, Jawa Barat. Balai seluas 350 hektare ini memiliki asrama yang dapat menampung sekitar 100 orang untuk belajar usaha budidaya perikanan.
Di BLU Karawang, terbentang 337 kolam tambak udang, bandeng, nila, patin, lele, dan sidat. Balai ini juga memproduksi berbagai benih ikan, belut, kerang, dan rumput laut. Pihak swasta dan masyarakat sekitar dilibatkan dalam usaha budidaya dengan pola inti-plasma. Ikan sidat yang mirip belut berukuran besar menjadi primadona, harganya cukup tinggi dan dipesan banyak negera.
Harga sidat di pasar internasional sekitar Rp 55.000 per kg. Sedangkan harga fillet sidat mencapai Rp 100.000 per ekor. Ikan yang mengandung protein tinggi ini diekspor ke Jepang, Tiongkok, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Sedangkan masalah yang dihadapi BLU Karawang dan BLU lainnya adalah kurangnya cold storage. Selain itu, perlu dukungan infrastruktur jalan dan transportasi darat dan udara yang lancar.
Kepala BLU Karawang Made Suitha mengungkapkan, masih terbuka bagi pihak swasta untuk menyewah sekitar 150 ha di BLU ini. Sekitar 60 ha lahan produktif telah dimanfaatkan swasta melalui pola kerja sama operasional. Biaya sewa lahan dipatok Rp 2,5 juta per ha setiap tahun selama 2-3 tahun. Selanjutnya, pihak swasta diharapkan mandiri dan mengadopsi teknologi untuk membangun tambak sendiri.
Made Nurdjana menegaskan, peningkatan produksi perikanan budidaya memang tidak diarahkan pada semua komoditas, melainkan ditekankan pada beberapa yang potensial. Komoditas budidaya yang sudah kelihatan unggul produksinya adalah rumput laut, lele, patin, bandeng, dan kerapu. Komoditas strategis yang potensial, seperti udang, nila, mutiara, dan ikan hias juga terus dikembangkan.
Kawasan Minapolitan
Menurut Made Nurdjana, pihaknya bersama pemerintah daerah dan masyarakat akan memacu produksi perikanan budidaya melalui tiga target pembangunan. Pertama, seluruh potensi perikanan budidaya menjadi kawasan minapolitan dengan usaha yang bankable. Swasta terus didorong, juga bagaimana menekan harga pakan ikan serendah mungkin.
Kedua, seluruh sentra produksi perikanan budidaya memiliki komoditas unggulan yang menerapkan teknologi inovatif dengan kemasan dan mutu yang terjamin.
Ketiga, sarana dan prasarana perikanan budidaya mampu memenuhi kebutuhan serta diproduksi di dalam negeri dan dibangun secara terintegrasi.
Lompatan produksi budidaya bukanlah hal mustahil untuk dapat dilaksanakan.
Untuk merealisasikan target tersebut, setidaknya diperlukan adanya tambahan kebutuhan modal kerja yang setiap tahunnya meningkat, yaitu dari kebutuhan tambahan modal kerja tahun 2009 sebesar Rp 5,33 triliun naik menjadi Rp 12,68 triliun pada 2014, atau tumbuh 20% per tahun.
Untuk mencapai target itu, Ditjen Perikanan Budidaya menempuh tiga pendekatan. Pertama, memfokuskan arah kegiatan APBN Ditjen Perikanan Budidaya.
Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan kredit program. Ketiga, menciptakan iklim usaha yang mampu memacu pokdakan untuk melakukan ekspansi usaha dengan menggunakan fasilitas kredit komersial, terutama untuk komoditas udang vaname, ikan kerapu, kakap putih, nila, dan patin di keramba jaring apung.
Sumber : Suara Pembaruan Hal 13