Ikan Teri memaksa ratusan warga Desa Pasarbanggi, Kecamatan/Kabupaten Rembang melaut hingga perairan Lampung, Pulau Sumatra. Di sana, mereka betah tinggal berbulan-bulan demi menangkap si putih kecil itu.
Pemerintah Desa Pasarbanggi mencatat, sedikitnya 200 warganya memilih boro (merantau) demi menangkap ikan dengan nama latin Stelephorus commersonii itu.
Kepala Desa Pasarbanggi Rasno mengatakan, warganya memang memiliki spesialisasi menangkap ikan teri. Mereka pun dikaruniai keterampilan membuat alat tangkapnya, yakni jaring dogol. Banyak nelayan dari luar Pasarbanggi yang memesan jaring dogol ke desa itu. Bahkan baru-baru ini warganya mendapat pesanan jaring dogol dari pemerintah sebagai paket bantuan untuk nelayan di Jawa Timur.
“Sebagian besar nelayan Pasarbanggi mengadu nasib di perairan Maringgai, Lampung Timur. Katanya di sana tangkapan melimpah,” ujar Rasno, Sabtu (7/4).
Konon, saat puncak panen teri, hasil tangkapan mereka bisa mencapai Rp 12 juta per hari. Jika sepi, sekitar Rp 2 juta. Biaya melaut juga cukup murah karena mereka cukup menebar jaring di perairan dangkal.
“Mereka pada umumnya tetap menyempatkan diri pulang ke kampung halaman, minimal sebulan sekali. Dari cerita mereka yang mudik itulah diketahui jika hasil tangkapan di sana lebih menjanjikan,” ujarnya.
Namun, lanjut Rasno, tak semua nelayan di desanya memutuskan untuk boro. Sebagian besar memilih bertahan melaut di perairan Rembang.
Hasil menangkap ikan teri memang cukup menggiurkan. Meski berukuran kecil, ikan teri memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dalam sepekan terakhir, nelayan setempat bahkan rela meninggalkan panen udang laut demi menangkap salah satu ikan ekspor itu. Mereka lebih memilih ikan teri karena harga di pasaran saat ini cenderung tinggi.
Di tingkat tengkulak harga ikan teri Rp 14.000/kg hingga Rp 15.000/kg. Nelayan biasanya melaut menangkap teri sejak subuh dan baru pulang pada pukul 12.00. “Setiap melaut nelayan bisa menjaring ikan teri hingga 25 kg,” kata Yoyok (30), nelayan Pasarbanggi.
Modernisasi Alat
Fenomena nelayan boro itu juga mulai menarik minat kalangan pemuda di desa itu. Namun, Kepala Dinas Keluatan dan Perikanan (Dislautkan) Rembang Suparman meminta mereka membekali diri dengan dokumen yang lengkap.
Selain itu, mereka juga diminta meminimalkan potensi konflik dengan nelayan setempat. Sebab, tak jarang perebutan daerah tangkapan kerap berakhir dengan pertikaian di atas kapal antara nelayan boro dan nelayan lokal.
Suparman mengaku secara khusus terus mendorong nelayan untuk mengembangkan peralatan tangkap dan melaut di luar jarak 12 mil laut. Dari pemantaunya, menangkap ikan di perairan dalam hingga ke perairan Pulau Sumatra atau Sulawesi, kualitas ikan tangkapan lebih bagus.
Hasilnya pun lebih menjanjikan.
Karena itu, dia terus mendorong nelayan untuk melakukan modernisasi peralatan tangkap. “Bisa dilihat, mereka yang berani melaut jauh tingkat perekonomiannya lebih baik ketimbang nelayan yang hanya menangkap ikan di perairan dangkal di Rembang,” ujarnya.
Dia menyebutkan, sebagian besar nelayan Rembang memang masih menggantungkan hasil tangkapan ikan di perairan dangkal, tak lebih dari 12 mil laut. Padahal potensi hasil tangkapan di kawasan itu terus menurun. (Saiful Annas-60)[suaramerdeka]