Oleh Janedjri M. Gaffar (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi). Tulisan ini dimuat Koran Sindo, 3 Februari 2010
Akhir-akhir ini, istilah yang banyak mewarnai diskursus publik adalah pemakzulan atau impeachment. Bagi masyarakat awam, istilah tersebut masih cukup asing, bahkan mungkin belum pernah didengar.
Istilah pemakzulan dan impeachment secara legal formal juga tidak terdapat dalam aturan hukum di Indonesia. Istilah pemakzulan digunakan sebagai terjemahan dari istilah impeachment. Impeachment adalah mekanisme formal di mana seorang pejabat publik yang dipilih didakwa melakukan tindakan yang melanggar hukum, yang biasanya dibatasi pada pelanggaran berupa tindak pidana.
Impeachment merupakan istilah hukum tata negara untuk menyebut proses pendakwaan, sebanding dengan istilah dakwaan dalam proses peradilan pidana. Namun, walaupun dakwaan dalam proses impeachment adalah terkait dengan tindak pidana, proses impeachment bukan merupakan peradilan pidana, melainkan peradilan hukum tata negara yang akan memutuskan apakah terdakwa diberhentikan dari jabatannya dan kemungkinan sanksi lain berupa larangan menduduki jabatan publik di mana dia telah diberhentikan.
Mekanisme dan praktik impeachment yang banyak dijadikan rujukan adalah di Amerika Serikat (AS). Dalam sejarah ketatanegaraan AS, impeachment merupakan mekanisme yang digunakan untuk kasus-kasus yang ekstrem, hanya untuk pelanggaran hukum berupa pengkhianatan, penyuapan dan kejahatan berat serta perbuatan tercela (treason, bribery and other high crimes and misdemeanors).
Namun masih terdapat perdebatan tentang frase “high crimes and misdemeanors” karena dipandang sangat luas pengertiannya. Impeachment di AS tidak hanya berlaku untuk presiden dan/atau wakil presiden, tetapi untuk semua pejabat publik, baik di tingkat federal maupun negara bagian. Dari tahun 1789 hingga saat ini, hanya terdapat 18 pejabat federal yang mengalami proses impeachment dan tidak semuanya berujung pada pemberhentian (removal from the office).
Pejabat yang paling banyak diajukan untuk impeachment justru adalah hakim yang meliputi 14 orang hakim federal, 11 orang hakim distrik, 2 orang hakim banding, serta seorang hakim agung. Pada cabang kekuasaan eksekutif, terdapat 2 presiden yang pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton, serta seorang menteri perang (Secretary of War) William W. Belknap.
Untuk cabang kekuasaan legislatif terdapat seorang anggota Senat yang mengalami proses impeachment, yaitu Senator William Blount. Dari 18 pejabat yang diproses impeachment tersebut, hanya 7 pejabat yang dinyatakan terbukti bersalah dan diberhentikan dari jabatannya, sedangkan sisanya dinyatakan tidak terbukti.
Dua Presiden AS yang pernah mengalami proses impeachment, yaitu Andrew Johnson dan Bill Clinton, keduanya dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum yang didakwakan. Selain itu, pernah terjadi upaya impeachment terhadap Presiden Richard Nixon. Namun Presiden Nixon telah mengundurkan diri pada saat usulan impeachment itu baru disetujui oleh House of Representative.
Di Indonesia, pengaturan tentang impeachment atau pemakzulan merupakan hasil perubahan keempat UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Impeachment berlaku khusus untuk presiden dan/atau wakil presiden dengan istilah “dapat diberhentikan dalam masa jabatannya” dengan mekanisme yang melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.
Jika menilik perdebatan pada saat pembahasan perubahan keempat UUD 1945 yang melatarbelakangi ketentuan Pasal 7A dan 7B tersebut, pemakzulan lebih dimaksudkan sebagai salah satu mekanisme pendukung mewujudkan pemerintahan presidensial. Salah satu karakteristik sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan yang melahirkan hubungan sejajar antara eksekutif dan parlemen.
Hal ini berbeda secara mendasar dengan sistem parlementer di mana eksekutif bergantung kepada parlemen sehingga sewaktu-waktu eksekutif dapat dijatuhkan dan diganti oleh parlemen. Dalam hubungan yang demikian, masa jabatan pemerintahan, yang dalam hal ini direpresentasikan dengan masa jabatan presiden, telah ditentukan terlebih dahulu (fix term of office).
Sebaliknya, masa jabatan pemerintahan dalam sistem parlementer tidak ditentukan secara pasti, melainkan bergantung pada kepercayaan dari parlemen. Biasanya, kabinet dalam pemerintahan jatuh karena alasan kebijakan yang dilakukan tidak disetujui atau dianggap salah oleh parlemen. Konstruksi pemerintahan sebelum adanya perubahan UUD 1945 lebih bercirikan parlementer.
Walaupun terdapat ketentuan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah 5 tahun, hal itu sepenuhnya bergantung kepada MPR. MPR sewaktu-waktu dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya dengan alasan melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau MPR. Pelanggaran yang dimaksudkan itu tidak terbatas pada pelanggaran hukum, melainkan juga termasuk pelanggaran berupa kebijakan yang dinilai salah atau tidak sesuai dengan penilaian MPR.
Sesuai dengan salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu untuk memurnikan dan memperkuat sistem presidensial, pemerintahan yang diharapkan terbentuk berdasarkan perubahan UUD 1945 adalah pemerintahan yang stabil sesuai dengan ciri-ciri sistem presidensial. Untuk memperkuat legitimasi presiden dan/wakil presiden, keduanya dipilih secara langsung oleh rakyat.
Di sisi lain, terdapat reposisi kedudukan MPR yang tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi. Untuk mencapai pemerintahan presidensial yang stabil, masa jabatan presiden dan/atau wakil presiden telah ditentukan, yaitu 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan lagi.
Pada prinsipnya, dalam masa jabatan 5 tahun tersebut kedudukan presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat, kecuali dengan alasan yang oleh UUD 1945 ditentukan dapat menjadi dasar pemberhentian. Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden adalah mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada kasus yang luar biasa atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Hal itu dapat dilihat dari alasan yang dapat dijadikan dasar usulan pemberhentian yang sangat spesifik dan menghindari dominasi konfigurasi politik serta mekanisme berlapis untuk mengambil putusan pemberhentian.
Pasal 7A UUD 1945 menentukan tiga jenis alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian, yaitu pelanggaran hukum, perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Alasan pertama adalah pelanggaran hukum presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila melakukan tindakan yang melanggar norma hukum.
Pelanggaran hukum dalam hal ini juga ditentukan secara lebih spesifik lagi, yaitu berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Tindak pidana berat selama ini dipahami sebagai tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Pelanggaran hukum di luar ketiga tindakan itu dengan sendirinya tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemberhentian.
Alasan kedua adalah perbuatan tercela yang dalam istilah di AS disebut dengan misdemeanor. Dari sisi hukum, istilah misdemeanor sesungguhnya menunjuk pada tindak pidana ringan. Namun dalam konteks impeachment, misdemeanor adalah perbuatan tercela, yang walaupun bukan pelanggaran pidana, merupakan perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak seharusnya dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden. Apabila perbuatan dimaksud dilakukan, hal itu akan merusak citra dan kehormatan presiden dan/atau wakil presiden.
Alasan ketiga adalah presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Alasan ini tentu lebih mudah dibuktikan karena telah terdapat ketentuan yang jelas mengenai persyaratan calon presiden dan/atau wakil presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pada saat syarat dimaksud tidak terpenuhi, maka presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memiliki kapasitas (incapacity) menjabat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Hanya dengan ketiga alasan tersebutlah presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Presiden dan/atau wakil presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika hanya dengan alasan parlemen tidak menyetujui kebijakan presiden dan/atau wakil presiden sepanjang kebijakan tersebut tidak melanggar atau diniatkan atau dijadikan sebagai dasar bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar impeachment. Mekanisme impeachment juga ditentukan secara ketat, melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.
Walaupun impeachment merupakan mekanisme hukum tata negara, tidak dapat dimungkiri tentu nuansa politis dapat mendominasi. Namun nuansa tersebut telah dibatasi dalam kerangka hukum serta melalui mekanisme peradilan di MK sebagai forum hukum yang bebas dari kepentingan politik apa pun. Melalui mekanisme ini, impeachment diharapkan benar-benar hanya akan terjadi dalam kondisi luar biasa dan tidak justru menjadi jalan terganggunya stabilitas pemerintahan yang merusak sistem pemerintahan presidensial.