Jum’at 6 April 2012 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan kebijakan mengenai industrialisasi kelautan dan perikanan guna mencapai target sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar pada tahun 2015. Hal ini dilakukan sebagai upaya percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di sektor perikanan. Kendati terdengar optimis, terlebih karena didukung potensi perikanan dan kelautan yang melimpah, target ini dihadapkan dengan berbagai tantangan terutama terkait kualitas produksi hasil perikanan dan manajemen.
Hal itu disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Dr. Sutono, M.E.S pada ceramah ilmiah bertema “Bedah Kebijakan KKP Mengenai Industrialisasi Perikanan dan Kelautan di Indonesia” yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unpad di Aula Gedung Dekanat FPIK, Kampus Unpad Jatinangor, Rabu (04/04). Acara yang dihadiri oleh mahasiswa FPIK Unpad tersebut, dibuka oleh Pembantu Dekan Bagian Kemahasiswaan FPIK Unpad, Drs. Herman Hamdani, Msi. Pembicara lain yang mengisi acara tersebut yaitu pelaku usaha pakan dari Charon Pokpan, Denny D. Indradjaja.
Sutono yang juga merupakan ketua tim perumus kebijakan tersebut mengatakan bahwa apa yang menjadi latar belakang KKP mengusung industrialisasi kelautan dan perikanan menjadi kebijakan adalah bahwa potensi besar sumber daya perikanan nasional nyatanya belum dapat memberikan kesejahteraan yang cukup bagi komunitas-komunitas di sektor perikanan. Nelayan misalnya, masih tetap hidup dalam kemiskinan. Dengan kebijakan ini Sutono berharap ada upaya percepatan pembangunan perikanan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan.
“Kendati data potensinya besar, kita belum pernah makmur dari hasil perikanan dan kelautan. Nelayan masih saja tetap menjadi komunitas yang termiskin dibandingkan komunitas-komunitas miskin lainnya, seperti petani,” ujarnya.
Kebijakan industrialisasi yang kini tengah diusung bukanlah program baru menurut Sutono, tapi lebih kepada pengembangan dari kebijakan minapolitan yang KKP telah laksanakan sebelumnya. Minapolitan yang berorientasi pada peningkatan produksi dan berkonsep potensi kewilayahan dipandang Sutono belum cukup, sehingga perlu adanya upaya percepatan yaitu dengan industrialisasi seperti yang telah dilakukan oleh China dan beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam.
“Namun minapolitan saja tidak cukup. Kita harus melakukan percepatan dengan upaya industrialisasi. Lihat saja China yang sudah lebih dulu melakukan sejak tahun 80-an. Sekarang mereka telah menjadi negara dengan produksi terbesar didunia,” jelas Sutono.
Adapun strategi yang harus dilakukan untuk merealisasikan kebijakan tersebut diantaranya dengan melakukan pengembangan komoditas atau produk perikanan berbasis pasar, pengembangan kawasan, konektivitas, sumberdaya manusia dan teknologi, pengembangan iklim usaha dan investasi, serta penataan sistem manajemen dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan, peningkatan daya saing, dan modernisasi.
Memperkuat pernyataan Sutono, Denny mengatakan bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal industrialisasi. Hal ini bisa dilihat dari aspek pakan ikan sebagai salah satu komponen penting kegiatan budidaya. Kenyataan Indonesia masih mengimpor bahan baku pembuat pakan serta rendahnya konsumsi pakan menjadi bukti yang lain. Permasalahan pakan yang terjadi ini mempengaruhi produksi perikanan terlebih terkait perbenihan. Akhirnya berpengaruh terhadap hasil produksi perikanan secara keseluruhan. Kini, nilai ekspor hasil perikanan budidaya Indonesia ke negara-negara Eropa dan Amerika telah kalah dari Thailand dan Malaysia.
“Industrialisasi yang kini tengah dicanangkan oleh KKP menjadi tantangan kita semua termasuk teman-teman mahasiswa,” tegas Denny.
Kebijakan industrialisasi perikanan dan kelautan tentu memerlukan dukungan akan banyak hal dari semua pihak termasuk terkait dengan kebutuhan pembiayaan. Sekedar informasi bahwa KKP memiliki anggaran sebesar Rp 6,944 triliun untuk tahun 2012, meningkat Rp 1,2 triliun dari sebelumnya Rp 5,993 triliun. Dengan dana yang ada terbatas tersebut, apakah mungkin dapat optimal mendukung kebijakan industrialisasi? Semoga.[mahasiswa.com]