Maskoki


Maskoki

Maskoki (Carrasius auratus) yang nama dagangnya goldfish berasal dari Cina. Ikan ini sudah digunakan sebagai ikan hias sejak abad ke-7. Ikan yang bersifat omnivora ini hidup baik pada suhu 19-28° C dengan suhu optimal 24-28° C. Kisaran pH yang diinginkan antara 7,0-7,5. Sementara kekerasannya sekitar 12° dH.


Varietasnya berkembang menjadi sangat banyak akibat silangan berbagai warna dan bentuk badan. Namun, hanya ada dua kelompok besar maskoki, yaitu memiliki dua sirip ekor dan satu sirip ekor. Ikan bersirip ekor dua buah pun masih bisa dibagi atas ikan bersirip punggung seperti koki Spenser, rasket, mutiara, dan tossa serta ikan tidak bersirip punggung seperti kumpai dan mata balon.

Induk maskoki biasanya berumur lebih dari lima bulan. Induk jantan ditandai dengan badan yang lebih langsing dan terdapat gerigi atau bangunan seperti pasir pada sirip, dada. Sementara induk betina lebih gemuk dan sirip dadanya halus.

Sebelum dipijahkan, induk jantan dan betina sebaiknya dipelihara terpisah sekitar dua minggu. Pemeliharaan induk ini sebaiknya dilakukan dalam kolam yang kepadatannya rendah, sekitar 20 ekor/m2. Pakannya dapat berupa pelet, cacing rambut, atau cacing darah. Agar kualitas telur menjadi baik, jentik nyamuk akan lebih baik diberikan sebagai pakan induk.


Setelah sudah siap berpijah barulah kedua induk ini dipelihara bersama. Tanda induk betina sudah siap berpijah adalah perutnya sudah gendut dan terasa lembut atau lembek bila diraba. Malahan kalau ditekan sedikit, dari perutnya akan keluar telur. Sementara tanda jantan yang sudah siap berpijah adalah perutnya akan keluar cairan putih susu bila ditekan. Cairan ini merupakan sperma.


Tempat pemijahan maskoki berupa bak fiber atau kolam. Ukurannya tergantung jumlah ikan yang akan dipijahkan. Bila hanya sepasang induk, kolam ukuran 1,0 m x 0,5 m dapat digunakan. Bila pemijahan dilakukan secara masal dengan induk 2-5 pasang, paling tidak ukuran kolamnya 1 m x 1 m.

Pemijahan akan lebih baik kalau perbandingan jantan dan betinanya 2 : 1, baik untuk pemijahan pasangan maupun masal. Ini dilakukan agar telur bisa efektif terbuahi. Kedalaman air sebaiknya 15-20 cm. Ke dalam wadah dapat diberi eceng gondok muda yang sudah dibersihkan sebagai sarang.


Pemijahan biasanya terjadi pada malam atau dini hari. Bila sarangnya dipasang sore hari, telurnya dapat dilihat pada pagi hari berikutnya. Namun, kalau belum mau memijah, airnya dapat diganti separo agar induk terangsang memijah. jumlah telur maskoki sangat banyak. Setiap induk betina dapat menghasilkan 3.000-5.000 butir telur.

Telur yang ada di akar enceng gondok dapat dipindahkan ke wadah penetasan. Bisa juga bukan telurnya yang dipindahkan, melainkan induknya. Perlakuan pemindahan induk lebih baik dibanding pemindahan telur karena telur bisa berserakan di dasar perairan.

Telur-telur tersebut biasanya akan menetas setelah tiga hari keluar dari induknya asalkan tidak terkena hujan dan mendapat cukup sinar matahari. Telur akan menetas menjadi larva ikan. Larva akan mulai berenang setelah seminggu menetas. Pada saat larvanya mulai berenang, enceng gondok bisa dikeluarkan dari wadah penetasan. Selanjutnya air mulai dialirkan ke dalam wadah atau diganti separonya.

Pada umur seminggu tersebut ikan sudah bisa diberi pakan berupa tetasan telur artemia atau infusoria. Dua atau tiga hari kemudian larva ikan dapat diberi kutu air saring. Kalau tidak ada kutu air saring, pakan berupa rebusan kuning telur ayam pun dapat diberikan. Namun, pemberian pakan tersebut harus hari-hari dan jumlahnya secukupnya saja agar air tidak cepat kotor. Sesudah agak besar (sekitar dua minggu) ikan dapat diberi cacing rambut dan pelet. Umur 3-4 minggu, kegiatan penjarangan dapat dilakukan.


Kolam untuk pemeliharaan maskoki sebaiknya agak luas, sekitar 1,5 m x 1,5 m. Ketingian air minimal 25 cm dengan kepadatan ikan sekitar 30-40 ekor/m . Airnya harus secara rutin diganti, yaitu setiap 3-4 hari sebanyak 1/3 volume air. Umur jual maskoki sekitar 3-4 bulan atau sudah berukuran sekitar 5 cm.

sumber : Darti S.L, dan Iwan D. Penebar Swadaya, 2006