Kisah Sukses Katering Langganan Istana

Views :357 Times PDF Cetak E-mail
Kamis, 16 Februari 2012 11:02
katering0212Terdesak membayar cicilan rumah setelah suaminya meninggal, Balqies Batarfie mendirikan usaha katering rumahan. Tak dinyana, Kenanga Catering miliknya berkembang menjadi langganan lima rezim pemerintahan sejak 1992.

Balqies Batarfie memulai bisnis katering semata demi menyambung hidup setelah suaminya, Hassan Ahmad, wafat pada pertengahan 1980. “Saya tidak pernah kepikiran suatu saat menjadikan usaha katering ini sebagai penghasilan utama saya,” ungkapnya kepada SWA.

Sebelum suaminya meninggal, Balqies adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebuah departemen di Jakarta. Sejatinya, berbisnis makanan bukan hal baru baginya. Tahun 1984, ia sudah berbisnis katering kecil-kecilan dengan teman suaminya. Setelah sang suami meninggal, bara semangat bisnisnya kembali menyala.

“Saya cuma memikirkan satu hal, bagaimana saya bisa membayar cicilan rumah,” ujarnya. Balqies menuturkan, sebelum berbisnis katering ini ia tiap bulan ia harus nombok Rp 30 ribu untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya.

Tahun 1987, Balqies memboyong Amalia pulang ke rumah keluarga besarnya di Bogor. Sejak itulah, sejarah Kenanga Catering ditorehkan. Namun perjalanan bisnisnya sempat terganjal masalah izin dari atasan Balqies. Setelah bolak balik menghadap atasannya untuk meyakinkan bahwa ia serius berwiraswasta, akhirnya bosnya pun menyerah.
Hampir setiap subuh, ia berangkat dari Bogor menuju Jakarta, naik kereta ataupun bus. Ia aktif mengikuti kursus memasak dan membuat kue yang kebanyakan berada di Jakarta. “Saya jual radio seharga Rp 300 ribu untuk biaya kursus,” katanya mengenang.

Jaringan pertemanan mendiang suaminya saat bekerja di perusahaan asing sangat membantu perkembangan bisnisnya. Lambat laun, Kenanga Catering semakin dikenal orang. Hingga, pada 1992, ada penawaran dari pihak Sekretariat Negara untuk memasok makanan ke Istana Bogor. Perkenalan itu didapatnya dari salah seorang karyawan Kenanga yang mempunyai jaringan dengan pihak Istana Bogor. “Saya ditanya, mau tidak memasok ke Setneg?” kenangnya.

Saat itu, Balqies diuntungkan jumlah usaha katering di Bogor yang hanya beberapa nama. Bahkan, bisa dibilang, Kenanga saat itu pemain tunggal untuk katering profesional di Bogor. “Akhirnya, saat itu saya berpikir, kenapa tidak saya coba,” ujar Balqies.

Setelah ia menghidangkan sampel makanannya, pihak Setneg memberi lampu hijau. Kenanga pun resmi menjadi mitra penyedia nasi kotak bagi Presiden Soeharto dan para tamunya ketika berkunjung di Istana Bogor dan Cipanas.

Tak hanya untuk Presiden dan tetamunya. Kenanga juga menyediakan nasi kotak untuk Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) pada pagi, siang dan malam hari. Mulai saat itulah, zaman keemasan Kenanga diawali. “Dulu, dalam sehari saya bisa bikin untuk 900 boks dengan harga Rp 2.000/boks,” kata Balqies. Pesanan berlangsung hampir 30 hari penuh. “Cuma mengerjakan pesanan Setneg saja sudah bisa hidup,” ucapnya. Apalagi, Kenanga lantas mendapat pesanan dari pabrik dengan harga relatif sama dengan Istana.

Balqies sadar, nama baik kateringnya dipertaruhkan saat melayani kalangan Istana. Maka, demi memberi pelayanan prima ke Istana Negara, Balqies menyiapkan 20 karyawan khusus. “Mereka gak boleh megang order lainnya,” ujarnya.

Ia juga bersiaga 24 jam untuk melayani klien istimewanya itu. “Saya sering ditelepon jam 12 malam untuk menyediakan makanan di Istana pada waktu subuh. Saya harus siap,” katanya tegas. Begitu telepon ditutup, Balqies langsung bergerak cepat mengeksekusi order tersebut.

Namun bukan berarti kesuksesannya tersebut dilalui tanpa kenangan pahit. Misalnya, saat ia harus memasok nasi kotak untuk acara Asia Pacific Economic Cooperation di era Soeharto. Semua kotak yang sudah dipersiapkan dengan rapi, harus melewati pemindai (scanner). Hasilnya, lauk-pauk yang berada di dalam 100 kotak saling tercampur. “Saya nangis melihat makanan itu berantakan.” Mau tak mau, ia merapikannya kembali di tempat acara.

Balqies pernah pula merugi Rp 150 juta. Karena, ia tidak memperhatikan kontrak perjanjian secara cermat. Kalimat yang terdapat dalam surat kontrak sangat ambigu. “Sampai di lokasi acara, mobil pengantar tidak boleh menurunkan makanan,” tutur Amalia Hassan, putri. Akibatnya, aroma tak sedap keluar dari makanan yang terkungkung itu. Maka, Kenanga tidak dibayar penuh. Surat kontrak yang ambigu memungkinkan pelanggannya berkilah. Berangkat dari kejadian itu, ibu dan anak tersebut mengambil banyak hikmah.

Meski berbagai cobaan telah menghampiri, 1998 menjadi tahun yang tak akan pernah ia lupakan. Pada suatu hari di bulan Mei tahun itu, telepon rumahnya berdering nyaring. “Maaf Bu. Ini force majeur. Pesanan katering dihentikan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan,” suara di ujung telepon berasal dari Setneg, yang mengabarkan bahwa usaha penurunan Soeharto sebagai Presiden membuat ketidapastian. Akhirnya, bahan baku makanan yang sudah dibeli, tidak jadi disalurkan untuk Istana Negara. Nilainya Rp 3 juta, cukup besar untuk ukuran saat itu.

Krisis ekonomi tahun 1998 turut menggoyahkan bisnis Kenanga. Kurs dolar AS melesat gila-gilaan. Ada hari saat US$ 1 mencapai Rp 15 ribu. “Kami sampai jual aset mobil, supaya bisa bertahan,” katanya. Meski kondisi keuangan mengalami pendarahan hebat, ia menolak merumahkan puluhan karyawannya.

Strategi lain pun ditempuh setelah Soeharto turun. Kenanga menjadi lebih fokus ke katering pernikahan dan pabrik. Jumlah karyawannya pun menyusut, dari awalnya 70-an pada 1990-an menjadi tinggal 20 orang. Meski demikian, kualitas dan pelayanan tetap menjadi andalan. Termasuk, mental katering prajurit yang siaga 24 jam melayani pelanggan.

Walaupun harga kateringnya di atas rata-rata harga katering pada umumnya, banyak masyarakat yang tetap mempercayakan urusan kuliner ke Kenanga. Salah satu sebabnya adalah Kenanga Catering menyediakan menu yang hanya terdapat di tempatnya. Contohnya Ayam Carmelita dengan bumbu khusus, dan meat loaf dengan isian keju, wortel dan buncis dengan siraman saus bumbu bistik Jawa. Walau begitu, ia memilih tetap memberikan solusi harga yang menguntungkan kedua pihak – Kenanga dan kliennya.

Setelah menjadi katering langganan di era Soeharto, Balqies mengaku Setneg masih mengontaknya untuk melayani katering di era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, dan terakhir di periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, sekitar lima tahun terakhir, Kenanga lebih banyak menerima pesanan dari perusahaan dan pusdiklat beberapa institusi ataupun lembaga negara. Harga pesanan satu instansi bisa mencapai Rp 300-400 juta. “Rp 115 ribu dikalikan 300 orang untuk 30 hari. Sudah berapa itu,” Balqies menyebut pesanan teranyarnya sembari membuka fitur kalkulator di layar telepon genggamnya. Ketika dikalkulasi, ternyata keluar angka Rp 1,03 miliar. Angka itu hanya untuk satu bulan.

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/index.php/entrepreneur/nasional/wanita/14451-kisah-sukses-katering-langganan-istana.html