Industri Versus Impor Ikan

Industri Ikan

Industri Versus Impor Ikan
Oki Lukito, FORUM MASYARAKAT KELAUTAN DAN PERIKANAN;
PELAKU BUDIDAYA LAUT DAN TAMBAK
Sumber : KORAN TEMPO, 26 Januari 2012

Wacana industrialisasi perikanan terus digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengatasi impor ikan yang semakin sulit dibendung dan dikendalikan. Bahkan ikan impor dalam kemasan pun bebas masuk tempat pelelangan ikan (TPI) dan dijual di pasar-pasar tradisional. Secara teori, apa yang diwacanakan soal industrialisasi tersebut memang ideal, tetapi seharusnya tidak gegabah diterapkan. Sah-sah saja jika ada anggapan bahwa di perairan Indonesia timur potensi ikan tangkapan masih berlimpah, sekalipun tidak ada data pendukung yang menguatkan asumsi tersebut. Kajian stok ikan nasional sudah lama tidak pernah dilakukan, sehingga validitas klaim tersebut diragukan.

Ada baiknya kita menyimak hasil kajian yang telah dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO). Sejumlah parameter menunjukkan bahwa status perikanan dan populasi ikan pelagic maupun demersal di perairan Indonesia sudah tidak sehat. Fakta yang terjadi, dengan kapal besar, nelayan memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas penangkapan, maupun menambah jumlah hari melaut, sementara hasilnya tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bagaimana kondisi ikan yang sebenarnya. Kebutuhan konsumsi ikan yang semakin meningkat setiap tahun, maupun pasar internasional, juga membuat eksploitasi sektor perikanan berlangsung secara besar-besaran.

Hasil penelitian yang dilakukan FAO pada 2010 menyebutkan pula, kondisi sumber daya ikan nasional maupun dunia saat ini menyusut drastis. Pada 2008, stok ikan laut dunia yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi hanya tinggal 15 persen. Sebanyak 53 persen stok ikan sudah dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lagi. Sedangkan sisanya sudah over-exploited atau stoknya menurun. Gambaran pemanfaatan sumber daya ikan di seluruh perairan Indonesia yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan tahun 2006 menunjukkan hal yang sama. Tidak mengherankan jika sering terjadi bentrokan fisik antara nelayan tradisional dan ABK kapal asing akibat berebut wilayah penangkapan di tengah laut. Konflik antarnelayan tradisional pun sering terjadi di lokasi rumpon di perairan dangkal dan laut dalam.

Biaya Mahal

Membangun gudang ikan, sebagaimana diusulkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di sentra-sentra perikanan tangkap, khususnya di Indonesia Timur, akan terhambat stok ikan dan pasokan listrik. Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet dengan biaya investasi Rp 1,5 miliar, misalnya, memerlukan listrik 40 ribu watt, biaya operasional Rp 20 juta per bulan. Sementara itu, pasokan listrik sebesar itu masih belum tersedia di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

PLN sendiri masih kesulitan menerangi permukiman penduduk tingkat kecamatan di wilayah timur. Idealnya, gudang penyimpanan seharusnya dilengkapi freezer selain cold storage. Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40 derajat untuk mempertahankan kualitas ikan dan mencegah berkembang-biaknya bakteri. Proses pembekuan ini mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu untuk dikapalkan.

Biaya lain yang harus dihitung adalah beban transportasi yang memang selama ini menjadi kendala serius di ranah bahari ini. Setidaknya untuk mencukupi kebutuhan bahan olahan industri perikanan di Jawa dan Sumatera, dibutuhkan kapal carrier berukuran 200 gross tonage (GT), mesin minimal 450 PK dengan kapasitas palka 80-100 ton. Biaya membeli solar (BBM) sekitar Rp 100 juta untuk kebutuhan selama 10 hari melaut trayek pulang-pergi. Biaya gudang dan transportasi tersebut tentunya menyebabkan harga ikan lebih mahal, belum termasuk biaya investasi kapal dan biaya rutin yang harus dikeluarkan, seperti menggaji ABK dan biaya merawat kapal.

Beberapa hal yang lolos dari pengamatan, selama ini petani budidaya dan industri tambak harus mengeluarkan biaya ekstra agar survive. Untuk menyiasati penyakit dan virus yang merebak akibat kontaminasi zat kimia dari konsentrat pakan, lahan tambak harus dilapisi terpal plastik. Air laut yang sarat pencemaran untuk bahan baku tambak udang, bandeng, atau kerapu lumpur memerlukan treatment khusus pula agar ikan tetap sehat. Sementara itu, budidaya air tawar dihadapkan pada persoalan makin terbatasnya sumber air dan melambungnya harga pakan. Demikian pula industri pengolahan mempunyai risiko lebih tinggi akibat kenaikan tarif listrik, mahalnya bahan baku, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan karyawan.

Faktor dominan yang menyebabkan budidaya udang vanamei tidak sukses adalah mahalnya biaya produksi (pakan, BBM). Sebagai ilustrasi, biaya pakan udang vanamei dengan kepadatan 150 ekor per meter persegi dengan produksi 6 ton per musim tanam mencapai Rp 9.000 per kilogram. Setiap kilogram udang yang dibudidayakan selama 120 hari membutuhkan 2 liter solar untuk biaya aerator penghasil oksigen. Sedangkan harga jual udang vanamei Rp 46 ribu per kilogram. Gambaran biaya di atas belum termasuk investasi awal dan biaya rutin. Jika saja pemerintah mampu menurunkan harga pakan hingga 40 persen atau menciptakan pakan alternatif (organik), budidaya udang dengan sendirinya tumbuh subur. Pengusaha budidaya laut juga megap-megap karena mahalnya harga pakan. Untuk setiap kilogram ikan kerapu (grouper) yang dibudidayakan di keramba apung selama 6-8 bulan, dihabiskan Rp 40 ribu untuk membeli pakan olahan industri. Kesulitan serupa dialami petani budidaya ikan air tawar, seperti ikan lele, gurame, nila, patin, yang sangat bergantung pada pakan konsentrat (pelet). Dampaknya juga mempengaruhi tingkat konsumsi makan ikan nasional yang selama ini stagnan di angka 28 kilogram per kapita per tahun. Senyampang harga ikan lebih mahal dari harga beras, jangan berharap industri perikanan akan maju dan gemar makan ikan diminati masyarakat.

Malu

Jika dicermati, dana triliunan rupiah dihabiskan untuk membiayai peningkatan produksi perikanan, seperti sistem cluster, revitalisasi tambak, restrukturisasi pelabuhan, minapolitan, serta program 1.000 kapal nelayan. Awalnya, program tersebut gempita ketika dicanangkan, akan tetapi patut disesalkan sepi produktivitas dan bahkan sektor perikanan terpuruk.

Kita seharusnya malu, negara kepulauan Indonesia, yang memiliki potensi perikanan berlimpah, dihadapkan pada kenyataan harus mengimpor ikan. Tengok Malaysia, negara daratan itu mampu mengekspor ikan kerapu ke Hong Kong dengan harga lebih murah, padahal bibitnya diimpor dari Indonesia. Bahkan mampu menyuplai ikan lele ke Batam dengan harga Rp 9.000 per kilogram, sedangkan lele lokal dijual di atas Rp 10 ribu per kilogram.

Demikian pula Vietnam, yang potensinya jauh lebih kecil, mampu membudidayakan udang windu (Paneus monodon) dan menjadi negara eksportir windu, yang spesiesnya berasal dari tlatah Majapahit. Sementara itu, Korea Selatan sukses meriset jenis rumput laut asal Indonesia dan mendapat hak paten atas rekayasa mesin yang mampu membuat kertas dari hasil riset tersebut.