PEMBENIHAN IKAN BAUNG


BAB III
PEMBENIHAN IKAN BAUNG

Pemilihan lokasi untuk pembenihan ikan perlu memperhatikan kemudahan-kemudahan dalam hal pemasaran dan aspek-aspek teknis lainnya seperti kondisi lingkungan, prasarana, bangunan, dan peralatan.

A. Rancang Bangun
Usaha pembenihan ikan baung sebaiknya menggunakan akuarium, sehingga dapat dilakukan di lokasi yang relatif sempit, tanpa aliran sungai, asalkan di lokasi tersebut terdapat sumber air yang cukup (misalnya sumur) dan memiliki kualitas yang memenuhi syarat untuk pemeliharaan larva. Jika kualitas air tidak memenuhi syarat, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus dengan pendekatan biologis ataupun kimiawi.
Skala usaha pembenihan ikan baung dapat berskala rumah tangga ataupun skala besar. Usaha pembenihan ikan baung skala rumah tangga paling banyak memerlukan 80 akuarium dengan seluruh peralatan pendukungnya. Usaha pembenihan skala rumah tangga ini tidak memerlukan bangunan yang besar dan rumit, tetapi cukup dengan areal bemkuran 10 m x 5 m. Areal tersebut dapat dibuat bangunan dari barn, kayu, ataupun dari bambu. Atap bangunan dapat terbuat dari seng, genteng, ataupun daun rumbia (Gambar 4 dan 5).
Usaha pembenihan ikan baung skala rumah tangga memerlukan satu bak penampungan air, satu bak pemijahan, dan satu bak kecil untuk pemeliharaan pakan alami. Selain itu, juga memerlukan rak akuarium bertingkat untuk menempatkan akuarium sebanyak sekitar 80 akuarium.
















Gambar 4. skema pembenihan skalam rumah tangga








































Gambar 5. Skema pembenihan skala menengah

B. Peralatan
Peralatan utama usaha pembenihan ikan baung adalah pompa air, pompa udara (blower), instalasi air, instalasi udara, dan sumber arus listrik. Pompa air digunakan untuk mendistribusikan air dari sumur ke bak penampungan dan dari bak penampungan menuju bak pemeliharaan. Pompa air yang dibutuhkan minimal 2 buah yang berukuran kecil (Gambar 6). Pompa udara (blower) dibutuhkan untuk menambah oksigen dalam media dan penyebaran makanan (Gambar 6).
Bahan-bahan untuk kebutuhan instalasi air meliputi: pipa pralon ukuran 0,75 inci (untuk saluran air masuk dari sumur/penampungan ke akuarium), pipa pralon ukuran 2,5 inci (untuk saluran pembuangan), selang taman, klep saringan, kran air, dan klem pipa. Sedangkan bahan-bahan untuk kebutuhan instalasi udara meliputi: pipa pralon ukuran 0,5 inci (untuk saluran udara dari blower ke akuarium), selang aerasi, klem pipa, kawat, batu aerasi, dan klem selang aerasi. Bahan-bahan lain yang dibutuhkan adalah busa karet (1 m x 6 m x 6 mm), kain kasa, tabung gas, plastik cor, serok, termometer, ember, dan plastik packing (Gambar 6).











Gambar 6. beberapa peralatan untuk pembenihan ikan baung





C. Penyediaan Induk
Penyediaan induk ikan baung dapat diperoleh dengan dua cara, yakni memelihara dari kecil hingga mencapai matang gonad (calon induk) dan menangkap calon induk dari alam bebas yang ditampung di kolam atau karamba. Penyediaan induk melalui pemeliharaan dari kecil perlu diberi pakan secara teratur dan pemeliharaan induk ini membutuhkan waktu sekitar 10 - 12 bulan. Penyediaan induk melalui penangkapan dari alam butuh waktu lebih singkat. Proses penangkapan dalam dan adaptasi induk ikan baung yang ditangkap dari alam bebas harus dilakukan dengan hati-hati. Biasanya, calon induk dari alam bebas membutuhkan waktu 1 - 2 minggu untuk dapat memanfaatkan pakan yang diberikan.

Karena calon induk yang dipelihara ataupun yang ditangkap dari alam bebas tidak dapat langsung digunakan/dipijahkan, maka perkembangan gonad calon induk tersebut dipacu. Upaya untuk memacu perkembangan gonad telah umum dilakukan di dalam kegiatan budi daya. Bahkan, upaya memacu perkembangan gonad tersebut juga mengarah pada perbaikan mum telur. Dengan demikian, telur yang dihasilkan bermutu baik, memiliki derajat penetasan yang tinggi, dan larva yang dihasilkan memiliki ketahanan yang prima. Namun, upaya-upaya tersebut sering dilakukan secara parsial dan tidak bersifat menyeluruh. Pendekatan yang akan menghasilkan pematangan gonad yang cepat adalah mengkombinasikan antara pendekatan lingkungan, nutrisi, dan hormonal.

Pematangan gonad terjadi karena adanya masukan nutrien lewat pakan yang diakumulasikan di dalam oosit. Proses akumulasi itu sendiri dikendalikan oleh hormon reproduksi. Hormon ini bekerja karena adanya rangsangan luar (faktor lingkungan). Interaksi antar komponen yang terlibat dalam proses reproduksi tersebut perlu dikelola dengan baik.
Upaya memanipulasi pematangan gonad relative jarang dilakukan di Indonesia, namun di negara-negara yang memiliki empat iklim telah banyak dicoba, terutama yang berkaitan dengan suhu, lama penyinaran, dan salinitas. Pemacuan pematangan gonad dengan menggunakan hormon pun masih sangat terbatas dan kebanyakan masih pada tahap uji coba. Kalaupun telah diterapkan secara rutin, pemacuan gonad dengan hormon baru terbatas pada ikan-ikan tertentu yang memang mutlak yang harus ada intervensi hormon dari luar seperti pada ikan bandeng dan beberapa jenis ikan laut lainnya. Untuk ikan-ikan air tawar yang frekuensi pemijahannya satu kali dalam satu tahun (misalnya baung), implantasi hormon ke dalam otot punggung dengan bantuan alat implanter yang dilakukan kurang lebih satu bulan setelah pemijahan (ovulasi) diharapkan dapat memacu perkembangan gonad sehingga pemijahannya tidak lagi hanya satu kali dalam satu tahun.
Hormon yang diimplantasikan ke dalam tubuh induk yang telah memijah diharapkan dapat memacu terjadinya proses perkembangan gonad berikutnya karena tersedianya hormon yang cukup di dalam darah untuk merangsang hypophysa mengeluarkan hormon gonadotropin yang akan memacu proses pematangan gonad, (Gambar 7). Jadi, implantasi hormon dalam proses reproduksi pada dasamya adalah memotongjalur pengamh lingkungan terhadap produksi hormon hypophysa yang di alam bebas pengamh lingkungan terhadap kerja hormon tersebut kemungkinan bersifat siklik.
Pellet
Implasi intra muscular
Muscuar
Perembesan LH-RH analog ke dalam darah
Darah
Pengangkutan LH-RH analog oleh darah ke organ target
Kelenjar Hypophysa

Sekresi LH
Ovarium
Pematang folikel
Pembentukan ostogen
Vitelogenesis


Telur Matang


Ovulasi



















Gambar 7. Mekanisme pengaruh implantasi hormon LH-RH
Analog terhadap pematangan gonad (Affandi, 1998).

Proses pematangan gonad ikan sering dilakukan dengan pendekatan nutrisi. Pemberian pakan yang baik pada induk ikan, terutama jenis-jenis ikan yang dapat memijah sepanjang tahun, selain dapat mempercepat proses pematangan gonad, juga dapat meningkatkan fekunditas dan memperbaiki mutu telur. Peran pakan sebagai bahan dasar untuk sintesis vitelogenin, sintesis hormon, dan penyedia energi dalam proses metabolisme berkaitan dengan proses pematangan gonad. Walaupun demikian, pendekatan nutrisi tidak mutlak dapat menjamin terjadinya proses pematangan gonad, terutama pada ikan tertentu. Oleh karena itu, pada ikan ikan tersebut, kombinasi pendekatan dalam memacu pematangan gonad sangat dibutuhkan
Pada ikan baung. Tang (1998) melaporkan bahwa protein 35 % ditambah kerang dalam pakan dapat mematangkan calon induk ukuran 19,15 - 53,29 cm dalam dua bulan pemeliharaan di kolam dan di sungai. Demikian juga, Gaffar (1998) melaporkan bahwa pematangan calon induk ikan 300 - 700 g ditebar dengan kepadatan 1 ekor/m2 dapat dilakukan di kolam atau karamba dengan pemberian pakan 30 % - 35 % protein ditambah ikan rucah.
Komponen nutrien lainnya yang berpengaruh terhadap perkembangan gonad dan kualitas telur adalah lemak yang amemiliki kandungan HUFA. Pada ikan mas diketahui adanya hubungan antara derajat penetasan dengan distribusi asam lemak dalam telur (22 : 6w 3). Daya tetas telur sangat rendah ketika kandungan 22 : 6w 3 sebesar 10 % dari berat total lemak pakan dan untuk penetasan yang normal dibutuhkan kira-kira 20 % 22 : 6w 3. Ikan trout yang diberi pakan yang berkadar protein rendah (33 % - 35 % protein) tetapi kandungan energinya tinggi (390 kkal/100 g pakan) menghasilkan fekunditas yang lebih besar dibandingkan dengan pakan yang berprotein tinggi (43 % - 47 % protein). Pakan yang defesiensi asam lemak esensial menghasilkan fekunditas dan daya tetas yang rendah.
Komponen nutrisi lain yang tampaknya sangat berpengaruh pada proses pematangan gonad dan perbaikan mutu telur adalah vitamin E (a-tocoferol). Vitamin E memainkan peranan yang yang sangat penting dalam fisiologi reproduksi ikan seperti halnya pada burung dan mamalia. Pakan yang mengandung vitamin E berpengaruh terhadap kandungan vitamin E dalam tubuh, pemijahan, daya tetas telur, dan mortalitas larva yang menetas. Dari
hasil penelitian temngkap bahwa ikan yang diberi pakan dengan kandungan vitamin E rendah sebanyak 1/3 dari jumlah induk ikan betina tidak memijah sedangkan yang lainnya memijah secara keseluruhan. Demikian pula, daya tetas dan kelangsungan hidup larva pada pemberian pakan berkadar vitamin E rendah juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa vitamin E yang berasal dari pakan dibawa dan diakumulasikan dalam telur dan vitamin E ini sangat membantu kelangsungan hidup larva.
Pengaruh vitamin E terhadap kecepatan pematangan gonad, fekunditas, dan daya tetas telur juga telah diteliti pada ikan baung oleh Tang (1999). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan vitamin E ke dalam pakan induk ikan baung sebesar 10 mg/100 g pakan memberikan pengaruh terhadap kecepatan pencapaian matang gonad selama empat bulan pemeliharaan.
Penambahan unsur mineral langka (trace metal) pada pakan induk ikan sangat penting untuk proses reproduksi. Jumlah telur yang dihasilkan tiap kilogram induk adalah 1.975 ± 342 dan nilai derajat penetasan telur adalah 0,4 % ± 0,9 % pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan unsur mineral langka. Hal ini jauh di bawah nilai yang diperoleh pada induk ikan yang diberi pakan komersial yang mengandung trace metal (berturut-turut: 3.631 ± 836 untuk fekunditas dan derajat penetasan telurnya 87,2 % ± 3,7 %). Kadar mangan (Mn) pada telur yang dihasilkan induk yang diberi pakan komersial (4,1 ug/g telur) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar mangan pada telur yang diberi pakan yang tidak mengandung unsur mineral langka (1,6 ug/g telur).
Penambahan pigmen (Carotin dan Cathaxanthin) pada pakan induk sedikit menurunkan jumlah telur yang dihasilkan, tetapi persentase jumlah telur yang mengapung meningkat dari 49,1 % menjadi 56,4 %. Demikian pula, abnormalitas dalam hal jumlah globul lemak dalam telur secara efektif berkurang dengan penggunaan pigmen. Penambahan canthaxanthin dalam pakan dapat memperbaiki produksi telur dan tingkat fertilisasi telur pada ikan trout. Ikan Salmoid memobilisir pigmen carotin, asthaxanthin, dan canthaxanthin yang ada dalam otot (daging) dan menyimpannya dalam telur dan kulit selama pematangan kelamin. Metabolisme carotin yang aktif ini diduga sebagai fungsi khusus selama pematangan kelamin. Metabolisme carotin yang aktif ini diduga sebagai fungsi khusus selama reproduksi dan awal kehidupan atau kedua-duanya. Penambahan asthaxanthin dan canthaxanthin sintesis pada pakan dapatjuga memacu pertumbuhan selama periode awal makan.

D. Penyediaan Pakan Alami
Pakan alami dalam usaha pembenihan ikan sangat diperlukan karena pada masa benih/larva perkembangan morfologi dan fisiologi baru dimulai. Misalnya, bukaan mulut yang kecil, enzim pencemaan belum sempurna, dan pergerakan larva yang lambat. Agar dapat memenuhi kebutuhan energinya, maka larva memerlukan jenis pakan yang dapat merangsang untuk makan.
Pakan alami (fitoplankton dan zooplankton) merupakan pakan yang terbaik bagi larva karena ukurannya kecil, pergerakannya lambat, komposisi gizinya yang relatif lengkap, dan enzim yang dikandung oleh pakan alami tersebut dapat membantu larva untuk menghancurkan pakan alami itu sendiri (autolisis).
Untuk mencukupi kebutuhan makanan larva, beberapa jenis pakan alami dan jenis fitoplankton yang sudah urnum dibudidayakan antara lain : Diatom, Chlorella, dan Tertaselmis. Sedangkan dari jenis zooplankton ialah Rotifera. Moina, Daphnia, Artemia, dan cacing sutera (Tubifex sp.).
Larva ikan baung yang bersifat kamivora (pemakan daging) dan bukaan mulutnya agak besar memerlukan pakan alami jenis zooplanktonlah yang dimanfaatkan pada saat pertama kali makan. Pakan alami yang digunakan dalam pembenihan ikan baung adalah Artemia, Moina sp., Daphnia sp, dan cacing rambut (Tubifex sp.).

1. Artemia
Artemia dikenaljuga sebagai udang renik air asin dan dijual di pasaran berupa telur (kiste) yang dikemas dalam kaleng. Kiste tersebut ditaskan menjadi nauplii untuk diberikan pada larva ikan. Penetasan kiste artemia menggunakan wadah dari botol (gallon) air minum bekas atau dari fiber yang berbentuk corong (Gambar 8). Wadah penetasan tersebut diisi air sebanyak 5 - 10 liter yang dicampur dengan garam dapur sebanyak 150 - 300 g (30 ppt). Setelah garam larut, kiste Artemia ditebarkan secukupnya. Untuk mempercepat penetasan, wadah penetasan dilengkapi dengan aerator agar sirkulasi udara dalam wadah dapat berjalan dengan lancar.
Penetasan kiste Artemia dapat juga dilakukan dengan proses dekapsulasi, yakni menipiskan cangkang kiste sebelum ditetaskan sehingga kualitas dan kuantitas nauplii akan lebih tinggi. Dekapsulasi dilakukan dengan cara merendam kiste dalam larutan klorin (NaOCI) 40 % atau kaporit (Ca(Ocl2)) dan NaOH sebanyak 15 g/liter air. Selama perendaman, kiste terus-menerus diaduk hingga terjadi perubahan wama menjadi merah oranye dan tidak licin. Selanjutnya, kiste disaring dengan saringan halus dan dibilas dengan air tawar kemudian dilanjutkan dengan proses penetasan seperti biasa.
Dalam waktu 24 jam, kiste Artemia akan menetas menjadi nauplii dan dapat diberikan pada larva ikan, tetapi air penetasan jangan terlalu banyak yang terambil. Agar air garam tidak banyak yang terambil, beberapa menit sebelum dilakukan pemanenan, aerasi dimatikan sehingga nauplii akan berkumpul di dasar wadah dan bisa disipon keluar kemudian disaring dan dicuci dengan air bersih. Kiste yang tidak menetas sebaiknya tidak tercampur dengan larva karena tidak dapat dicema oleh larva.












Gambar 8. Wadah Penetasan artemia dari gallom air mineral (A) dan Ember + Corong (B).

2. Moina dan Daphnia (Kutu Air)
Budi daya kutu air dapat dilakukan di dalam bak atau di dalam kolam. Bak atau kolam yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu selama 1 - 2 hari. Kemudian, bak atau kolam diisi air sampai dengan ketinggian 7 - 100 cm. Pupuk kandang (kotoran ayam) dimasukkan ke dalam bak/kolam dengan dosis 2 - 4 g/liter air. Ekstrak kotoran ayam dapat disiapkan dengan dengan melarutkan kotoran ayam dalam ember. Selanjutnya, larutan kotoran ayam tersebut dimasukkan ke dalam media kultur menggunakan saringan agar ampas(bagian yang kasar) tersaring. Cara lain, kotoran ayam dikeringkan, kemudian dimasukkan ke dalam karung pupuk dan digantung di dalam bak.
Kutu air biasanya diambil dari genangan air atau danau pada pagi hari ketika kutu air tersebut berkumpul di permukaan air. Sebelum disebar ke dalam bak/kolam, kutu air tersebut harus dicuci dahulu dengan air bersih untuk menghindari bibit penyakit yang terbawa olehnya. Pencucian kutu air dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam bak atau akuarium besar dan diberi aerasi, kemudian disaring dengan serokan.
Induk Daphnia atau Moina sebanyak 20 - 30 ekor/liter media dimasukkan ke bak/kolam setelah 2 - 3 hari pemupukan (Gambar 9). Pada hari ke 7, bak/kolam biasanya sudah dipenuhi oleh kutu air. Kutu air berkembang biak setiap 2 minggu dan tiap ekor dapat menghasilkan 20 - 40 butir telur. Jika populasi kutu air sudah mulai berkurang, dapat dilakukan pemupukan tambahan.
Pemanenan dilakukan kutu air dapat dilakukan dengan menggunakan serok/saringan pada pagi hari. Kutu air yang tersaring dicuci, kemudian diberikan pada ikan sesuai dengan kebutuhan.













Gambar 9. Kutu air Daphina sp. (A) dan Kutu Air Moina sp (B)

3. Cacing rambut (Tubifex sp.)
Cacing rambut sering ditemukan di selokan-selokan atau sungai-sungai yang airnya banyak mangandung bahan organik. Sebelum diberikan pada ikan, cacing rambut tersebut perlu dicuci bersih dan ditampung sementara selama 1 - 2 hari. Salah satu bentuk wadah penampungan cacing rambut dapat dilihat pada Gambar 10. Bak penampungan cacing diberi air mengalir dan diaerasi. Bilajumlah cacing rambut terlalu banyak, maka sisanya dapat dimasukkan dalam kantong plastik dan dibekukan di freezer. Cacing yang dibekukan harus diberikan pada ikan pada kondisi masih beku.
















Gambar 10. Bak penampungan cacing rambut

E. Metode Pemijahan
Ikan baung termasukjenis ikan yang relatifbaru untuk dapat dipijahkan. Sub-Balai Perikanan Air Tawar Palembang telah mencoba sejak tahun 1983, 1991. dan barn berhasil diperoleh larva yang cukup memuaskan pada tahun 1992. Sejak itu menyusul UPPU Jambi, Fakultas Perikanan Universitas Riau, dan BBI Rumbai Pekanbaru pada tahun 1996 telah berhasil memijahkan ikan baung. Pada tahun 1997, BBAT Sukabumi dengan modal induk 100 pasang berhasil memijahkan ikan baung secara buatan. Namun, sampai sekarang ikan baung belum dapat dipijahkan secara alami.


Untuk memijahkan ikan baung secara buatan (penyuntikan), calon induk sebaiknya dipelihara di kolam atau karamba dan sudah berukuran 200 - 1000 g. Kepadatan ikan pada keramba sebaiknya sebanyak 50 ekor atau kurang lebih 30 kg/100 m2. Ikan baung jantan dan ikan baung betina sebaiknya dipelihara secara terpisah.
Pemberian pakan pada calon induk sebaiknya berkadar protein 35 % ditambah kerang atau teri (1:1) dan diberikan sebanyak 3 % - 5 % dari bobot badan per hari yang diberikan 2-3 kali, yaitu pagi hari, siang hari, dan sore hari. Bulan September sampai Maret merupakan musim pemijahan bagi ikan baung, maka sebaiknya pemijahan dilakukan pada musim tersebut.


Induk jantan dan induk betina diseleksi dan disimpan dalam bak tangki fibreglass. Induk betina yang telah matang gonad dapat dilihat dari bentuk perutnya yang relatif membesar dan permukaan kulit sangat lembut, atau dilihat dengan menggunakan kateter. Bila telur berbentuk bulat utuh, berwarna agak kecoklatan, atau berukuran 1 mm, atau jika intinya dilihat dengan mikroskop sudah tampak menepi, maka induk ikan baung tersebut sudah siap untuk dipijahkan. Sedangkan ikan baung jantan yang siap dipijahkan ditandai dengan alat kelamin atau papilanya yang terletak di belakang anus dan bagian ujungnya berwama merah serta menyebar ke arah pangkal.
Induk ikan baung betina matang gonad dibius, kemudian disuntik dengan ekstrak kelenjar hipophysa pada bagian belakang sirip punggung ke arah perut (ventral). Suntikan pertama menggunakan ekstrak kelenjar hipophysa ikan mas sebanyak 1 dosis (berat ikan resipien sama dengan berat donor yang diambil hipophysanya), kemudian setelah 6 - 7 jam disuntik lagi dengan kombinasi ekstrak hipophysa dan hCG masing-masing sebanyak 3 dosis dan 200 IU. Induk ikan baung yang telah disuntik disimpan secara terpisah.
Hormon lain yang kini populer untuk penyuntikan ikan dalam pemijahan buatan adalah ovaprim (0,9 ml/kg ikan resipien) dan PGF2a (3000 mg/kg ikan). Penyuntikan dilakukan 2 kali, yakni penyuntikan pertama 1/4 bagian dan suntikan kedua 3/4 bagian.


Pengeluaran telur dilakukan dengan mengurut induk betina yang telah siap memijah. Telur-telur yang keluar ditampung dalam nampan plastik dan dicampur dengan sperma ikan baung jantan untuk pembuahan. Induk betina yang berbobot sekitar 250 - 634 akan diperoleh telur 50.000 - 150.000 butir. Untuk mendapatkan sperma, ikan jantan dibedah, kemudian testis dicuci/dibersihkan dari darah dan lemak yang melekat. Selanjutnya, sperma dilarutkan dalam larutan garam 0,9 % sebanyak lebih kurang 3 ml.
Telur yang telah dicampur dengan sperma diaduk secara merata dengan bulu ayam, diberi air, dan kemudian ditebarkan dalam hapa di akuarium atau bak/tangki yang berisi air bersih dan diaerasi. Telur yang telah dicampur dengan sperma dapat juga disebar langsung ke dalam bak atau akuarium. Suhu air dalam akuarium atau bak minimal 26°C - 30°C. Telur yang terbuahi akan menetas setelah 20 - 30 jam (proses perkembangan embrio disajikan pada Tabel 2).

















Tabel 2. Perkembangan Embrio Ikan Baung
Fase
Waktu antara
(jam setelah pembuahan)
Pembentukan blastolik
2sel
Morula
Blastula
Gastrula
Penutupan blastopor
Pembentukan tunas kepala
Pembentukan ekor
Pergerakan ekor
Siap menetas
Menetas
0,30
0,45
2,45
3,45
5,05
8,05
19,00
21,45
22,15
27,30
30,45
Sumber: Yunita, 1996.
F. Perkembangan Larva
Perkembangan larva dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pralarva dan pascalarva. Pralarva merupakan tahap dari mulai menetas hingga habisnya kuning telur, sedangkan pascalava adalah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempumaan organ-organ yang telah ada. Pada masa akhir pasca larva tersebut, maka secara morfologi sudah mempunyai bentuk menyerupai individu dewasa (definitif).
Pada stadia larva, baik morfologi, anatomi, maupun fisiologi ikan masih sangat sederhana. Tubuh larva tampak transparan, sirip dada dan ekor sudah ada tetapi bentuknya belum sempurna. Sirip hanya berbentuk tonjolan. Mulut dan rahang belum berkembang dan usus masih merupakan lambung lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah belum sempurna. Pakan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis terserap. Pergerakan larva yang baru menetas hanya terjadi sewaktu-waktu saja dengan jalan menggerakan bagian ekor ke kiri dan ke kanan.
Mengingat perlengkapan hidup bagi larva untuk menjalani kehidupannya masih sangat minim, maka untuk sementara larva tersebut harus segera beradaptasi dengan lingkungannya dan pakan dari luar yang seringkali tidak selalu berhasil. Stadia larva ini merupakan stadia yang paling kritis dari siklus hidup ikan. Larva yang berhasil melewati fase larva dengan sukses akan terus hidup hingga menjadi ikan dewasa, sedangkan larva yang gagal melewati fase ini akan mati. Oleh karena itu, kegiatan pemeliharaan larva dalam pembenihan ikan merupakan kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan pembenihan, terutama bagi ikan yang memiliki larva dengan ukuran tubuh yang sangat kecil (2 - 5 mm).
Selain perkembangan morfologis, anatomis, dan fisiologis, selama stadia larva juga terjadi perkembangan tingkah laku sebagai konsekuensi ketiga perkembangan tersebut di atas. Perkembangan tingkah laku selama stadia larva antara lain meliputi : pergerakan (berenang), pemangsaan, respon terhadap cahaya dan gangguan. Pergerakan larva dalam berenang umumnya tidak seperti ikan dewasa. Sebab, gelembung renang larva belum terisi udara dan berfungsi normal sebagai organ hidrostatik yang membuat ikan mampu berenang naik turun di bawah permukaan air. Pengisian gelembung renang dengan udara berlangsung saat larva mulai memangsa makanan dari luar. Pada saat tersebut larva seringkali berenang di dekat permukaan air dan dinding akuarium untuk mengisi gelembung renang dengan udara sehingga memiliki fungsi hidrostatik agar bisa bergerak (berenang) seperti ikan dewasa untuk mencari makan. Kegagalan larva mengisi gelembung renang merupakan salah satu faktor kegagalan larva untuk melewati fase kritis dalam hidupnya.
Untuk menjamin tetap kelangsungan metabolisme di dalam tubuh larva bagi kelangsungan hidupnya, larva terpaksa mengambil sumber energi yang terdapat di dalam jaringan tubuh. Larva mengalami retardasi pertumbuhan sehingga ukuran dan bobotnya menyusut, menjadi bengkok, dan larva menjadi pasifserta lemah karena fungsi organ (morfologis, anatomis dan fisiologis) menjadi rusak. Kondisi tersebut tidak bisa diperbaiki ke kondisi normal lagi meskipun larva telah dapat mengkonsumsi makanan dan proses perusak anjaringan serta organ terus berlangsung. Kejadian ini dikenal dengan istilah point of no return (titik tidak bisa balik).
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen ketika sistem pernafasannya belum berkembang, larva memanfaatkan sistem kapiler pada permukaan kantung kuning telur untuk mendapatkan oksigen dari air. Masuknya oksigen ke dalam tubuh larva berlangsung melalui proses difusi.





Gambar 11. Perkembangan panjang tubuh larva ikan baung

Gambar 12. Hubungan antara umur dan bobot tubuh

Gambar 13. Hubungan antara panjang ikan dan bukaan mulut.

Gambar 14. Perkembangan morfologi larva ikan baung
Oksigen merupakan faktor lingkungan yang bersifat akut, dampaknya bersifat cepat dan masal. Kematian larva pada pembenihan seringkali disebabkan oleh kekurangan oksigen lokal. Di sudut akuarium, biasanya larva kekurangan oksigen meskipun aliran aerasi dan air terns berlangsung. Daerah demikian disebut death point area (daerah titik mati air). Larva yang memiliki tingkah laku pasif dan terbatas sebaiknya tidak dipelihara dalam wadah berbentuk persegi.
Larva ikan baung yang baru menetas langsung mengalami pigmentasi mata, sirip dada, sirip ekor, dan sungut sudah terbentuk. Setelah 26 jam, mulut mulai membuka dan umur 52 jam larva mulai makan, dan pada saat tersebut bukaan mulut mencapai 0,55 mm. Ketika bernmur 63.15 - 72 jam, kuning telur telah habis sehingga pergerakan larva makin aktif berenang di dasar dan dinding akuarium. Perkembangan morfologi, panjang, bobot, dan bukaan mulut larva disajikan pada Gambar 11 dan 12.

G. Wadah Pemeliharaan
Pemeliharan larva dapat dilakuakan antara lain dalam wadah dalam wadah pemijahan yang sekaligus sebagai tempat penetasan dengan mengangkat induk yang telah memijah, dalam wadah penetasan, atau dalam wadah khusus.























Gambar 15. wadah pemeliharaan larva

Pemeliharaan larva ikan baung sebaiknya dilakukan dalam wadah khusus dengan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk yang baik untuk wadah pemeliharaan larva ikan baung adalah yang berbentuk sirkular dan memiliki dasar berbentuk kerucut, di mana inlet air terletak di tengah dasar sehingga akumulasi bahan organik dapat dihindari (Gambar 15). Debit air yang diperlukan sebesar 0,5 - 1,0 liter/menit untuk setiap wadah yang bervolume 10 liter. Selain berbentuk sirkular, wadah pemeliharaan larva dapat juga berbentuk persegi.
Bahan untuk wadah larva ikan baung dapat berupa fiber, plastik, bak beton, kaca (akuarium), kain saringan (hapa), atau papan yang dilapisi lembaran plastik. Bahan wadah dari fiber dan plastik relatiflebih ringan sehingga mudah dipindah-pindahkan dalam pelaksanaan pembenihan.
H. Kualitas Air
Aspek penting dalam pemeliharaan larva ikan adalah kualitas air. Beberapa kualitas air yang telah diteliti secara khusus dalam pemeliharaan ikan baung disajikan pada Tabel 3.




















Tabel 3. Beberapa Nilai Kualitas Air bagi Larva Ikan Baung


Suhu 27°C (suhu kamar) memberikan hasil terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan baung. Hasil ini memberikan harapan bagi kegiatan pembenihan skala mmah tangga karena tidak memerlukan alat khusus untuk meningkatkan suhu air. Salinitas kisaran optimal adalah 0 - 3 ppt, namun untuk mencegah berbagai bibit penyakit, sebaiknya larva dipelihara pada media air yang bersalinitas 1 ppt. Untuk mendapatkan salinitas 1 ppt dilakukan dengan cara melarutkan 1 g garam dalam 1 liter air. Media yang dibutuhkan dapat berupa air jernih maupun air hijau. Namun, hasilnya akan lebih baik jika larva ikan baung tersebut dipelihara pada media air hijau.

I. Penebaran Larva
Faktor penting dalam penebaran larva adalah padat penebaran. Padat penebaran untuk larva ikan baung berkisar 10 - 20 ekor/liter air. Penebaran larva dilakukan 1 - 5 hari setelah pengisian air secara penuh pada tangki pemeliharaan, atau bergantung pada ketersediaan larva. Hal ini dimaksudkan untuk menginkubasi air sehingga dapat memotong siklus hidup organisme patogen yang mungkin terdapat pada media ini. Larva yang ditebar berumur 2 hari atau masih memiliki kuning telur sebanyak kurang lebih 75 %, mata sudah berpigmen, dan mulut sudah terbuka.
Penghitungan larva dilakukan secara volumetrik dengan mengambil contoh larva dari akuarium penetasan menggunakan gelas piala bervolume 250 ml sebanyak 5 kali ulangan. Jumlah rata-rata larva tiap 250 ml ini dikonversikan menjadijumlah larva tiap liter dan nilai terakhir tersebut digunakan untuk penentuan volume air media penetasan.
Sebelum ditebar, larva diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi media air pemeliharaan. Akiimatisasi larva dilakukan dengan cara membiarkan beberapa saat larva yang diangkut dari akuarium mengapung di permukaan air tangki. Kemudian, air di dalam tangki tersebut dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam waskom dengan menggunakan tangan. Selanjutnya, isi baskom dituangkan ke dalam tangki secara pelan-pelan.
J. Pemberian Pakan
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeliharaan larva adalah pemberian pakan yang cocok dan waktu pemberian makanan yang tepat, sebab bukaan mulut larva sangat kecil; sistem pencemaannya masih hangat sederhana (secara anatomis dan fisiologis); dan pergerakan larva masih terbatas.
Pengetahuan mehgenai perkembangan bukaan mulut dan sistem pencernaan larva dapat membantu kita untuk menentukan makanan (pakan) yang cocok bagi larva ikan baung. Namun, dewasa ini pakan yang lazim diberikan pada larva stadia awal yang bukaan mulutnya besar adalah kutu air (Daphnia sp. dan Moina sp.); makanan untuk larva yang bukaan mulutnya sedang adalah Artemia; sedangkan larva yang bukaan mulutnya kecil adalah Rotifera. Menentukan bukaan mulut larva dapat dilakukan berdasarkan panjang tubuh larva, sebab terdapat korelasi positif antara lebar bukaan mulut dan panjang tubuh larva. Korelasi antara panjang dan bukaan mulut larva ikan baung mengikuti persamaan Y = - 2,1506 + 0,3933 X.
Umumnya, makanan yang diberikan pada larva stadia awal adalah pakan alami (bukan pakan buatan). Pakan alami mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencemaan pada larva. Keberadaan enzim tersebut dalam makanan alami dapat mengantisipasi perkembangan sistem pencemaan larva stadia awal, termasuk produksi enzim pencernaan.
Mengingat kondisi morfologi, anatomi, dan fisiologi larva yang telah diuraikan di atas, maka kemampuan larva untuk mencari, memangsa, dan mencerna makanan masih sangat terbatas. Padahal, makanan merupakan sumber nutrien dan energi yang dibutuhkan oleh larva untuk mempertahankan hidupnya. Pada saat kemampuan larva masih sangat terbatas tersebut, ternyata kuning telur merupakan sumber nutrien dan energi utama bagi larva selama periode endogenous feeding, yang dimulai saat fertilisasi dan berakhir saat larva mulai memperoleh pakan dari luar. Oleh karena itu, volume kuning telur, selain ukuran tubuh, dapat menentukan keberhasilan larva melewati fase kritis dalam siklus hidupnya.
Larva ikan baung mempunyai volume kuning telur yang besar (498 mm3) sehingga cadangan makanan tersebut cukup untuk membangun organ tubuh. Dengan demikian, larva ikan baung telah siap beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar (exogenous feeding). Larva ikan ikan baung tersebut sudah mampu memangsa dan mencema makanan pada saat kuning telur masih tersisa, sehingga di dalam tubuh larva terdapat dua sumber energi, yaitu kuning telur (endogenous energy) dan pakan dari luar (exogenous energy). Hal ini sangat mendukung kondisi larva untuk melewati fase kritis. Sebaliknya, jika saat kuning telur sudah habis dan larva belum dapat
Gambar 16. Jadwal Pemberian pakan benih ikan baung.

beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar atau kemampuan memangsa dan mencema makanan belum berkembang, maka larva ikan tersebut dalam kondisi berbahaya untuk melewati fase kritis. Pada saat tersebut, terjadi kekosongan sumber energi.
Larva ikan baung berumur 1 - 5 hari dapat diberi pakan alami berupa Artemia salina atau Moina sp. dengan kepadatan 1 – 2 ekor/ml. Pada saat berumur 4 - 8 hari, larva ikan baung sudah dapat diberi cincangan cacing Tubifex sp. dan Daphnia sp. Ketika berumur 7 hari, larva ikan baung dapat diberi pakan berupa cacing Tubifex sp. sebanyak 10 mg/ekor. Skema pemberian pakan larva ikan baung dapat dilihat pada Gambar 16.



















K. Penyiponan dan Penggantian Air
Satu minggu pertama, kolam pemeliharaan larva tidak perlu dilakukan penggantian air. Namun, setelah larva diberi cacing (cincangan cacing ataupun cacing utuh) perlu dilakukan penyiponan dan penggantian air sebanyak 10 % setiap pagi sebelum pemberian pakan.
Jika larva ikan baung berenang di dasar atau di dinding akuarium atau bak, penyiponan harus dilakukan dengan hati-hati. Agar larva tidak ikut tersedot, ujung alat penyiponan dapat dilapisi saringan (Gambar 17).








Gambar 17. Cara Penyiponan.
L. Transportasi Benih
Pengiriman benih dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan system terbuka dan sistem terutup. Pengiriman benih dengan sistem terbuka biasanya dilakukan untuk pengirimanjarak pendek yang prasaranajalannya baik dan lancar. Pengiriman abenihjarak pendek dengan waktu tempuh kurang dari



















Gambar 18. Pengangkutan benih system terbuka

5 jam dapat menggunakan alat-alat sederhana dengan sistem terbuka. Peralatan atau wadah untuk pengiriman sistem terbuka dapat menggunakan ember atau drum plastik yang dipotong setengah (Gambar 18).
Kepadatan benih pada pengiriman sistem terbuka bisa lebih padat (100 - 150 ekor/liter) karena ikan baung senang berkumpul membentuk farmasi seperti bola. Selama dalam pengiriman benih, kestabilan suhu air harus diperhatikan dan jika perlu di samping wadah transportasi diberi es balok.
Pengiriman benih sistem tertutup biasanya dilakukan untuk pengiriman jarak jauh. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sistem pengiriman benih secara tertutup adalah ketersediaan oksigen, sisa metabolisme (CO2 dan NH3), dan suhu air. Benih yang diangkut senantiasa melakukan metabolisme. Metabolisme yang memerlukan oksigen dan mengeluarkan sisa (feces) dapat membahayakan benih ikan. Oleh karena itu, benih ikan yang akan dikirim jarak jauh dengan sistem tertutup ini harus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum pengangkutan supaya saluran pencemaan kosong. Dengan demikian, kerja metabolisme minimal dan membutuhkan oksigen minimal pula, Selain itu, jumlah kotoran (buangan sisa metabolisme) berkurang. Biasanya, kebutuhan oksigen dalam wadah pengangkutan sistem tertutup mudah untuk diatasi, tetapi sisa metabolisme berupa NH3 sering sulit diatasi.






















Gambar 19. Proses pengemasan benih system tertutup.

Peralatan dan wadah yang diperlukan untuk pengiriman benih ikan sistem tertutup adalah kantong plastik, kardus, gas, dan tali untuk mengikat kantong plastik ataupun kardus. Untuk mencegah kebocoran pada kantong plastik, maka kantong tersebut sebaiknya dipasang rangkap. Kantong diisi air tawar seperlunya, kemudian benih dimasukkan dengan kepadatan 400 - 500 ekor/liter. Oksigen dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan perbandingan 1 : 5, kemudian plastik diikat erat dan dikemas dalam kardus (Gambar 19). Jika pengangkutan benih ikan menggunakan mobil khusus kadang-kadang tidak memerlukan kardus, tetapi kantong-kantong plastik berisi benih ikan tersebut cukup disusun yang baik dan rapi.

M. Analisis Usaha
Usaha pembenihan ikan baung memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini ditandai dengan makin meningkatnya permintaan benih di beberapa wilayah terutama Sumatra dan Kalimantan. Gambaran analisis usaha pembenihan ikan baung disajikan di bawah ini.

1. Biaya Investasi
Akuarium 80 buah @ 100.000 (usia ekonomis 5 tahun) RP 8.000.000,00
Bak akuarium (usia ekonomis 5 tahun) Rp 1.000.000,00
Blower 1 buah (usia ekonomis 3 tahun) Rp 3.000.000,00
Pompa air 2 buah (usia ekonomis 3 tahun) Rp 600.000,00
Perlengkapan aerasi (usia ekonomis 3 tahun) Rp 750.000,00
Perlengkapan instalasi air (usia ekonomis 3 tahun) RP 750.000,00
Lain-lain (tong kultur artemia, ember, tabung gas)
(usia ekonomis 5 tahun) Rp 900.000,00
Total investasi Rp 15.000.000,00

2. Biaya Tetap (FC)
a. Penyusutan/musim (2 bulan)
1) Akuarium (Rp 8.000.000,00 : 5 : 2) Rp 800.000,00
2) Rak akuarium (Rp 1.000.000,00 : 5 : 2) Rp 100.000,00,00
3) Blower (Rp 3.000.000,00 : 3 : 2) Rp 500.000,
4) Pompa air (Rp 600.000,00 3 : 2) Rp 100.000,00
5) Perlengkapan aerasi (Rp 750.000,00 : 3 : 2) Rp 125.000,00
6) Perlengkapan instalasi air
(Rp 750.000,00 : 3 : 2) Rp 125.000,00
7) Lain-lain (Rp 500.000,00) Rp 50.000,00
a. Tenaga operator 3 orang Rp 900.000,00
b. Bayar listrik Rp 150.000,00
c. Bunga modal Rp
Total biaya tetap Rp 2.750.000,00

3. Biaya Tidak Tetap (VC)
Induk betina (8 x Rp 50.000,00) Rp 400.000,00
Induk jantan (10 x Rp 20.000,00) Rp 200.000,00
hCG(lOml) Rp 250.000,00
Donor ikan mas (20 x Rp 7.000,00) Rp 140.000,00
Moina/Daphnia (umur 1 - 5 hari) Rp 50.000,00
Cacing rambut (umur 6 - 30 hari
3 x 3 x Rp 2.500,00 Rp 225.000,00
Obat-obatan Rp 100.000,00
Lain-lain Rp 100.000,00
Total Biaya Tidak Tetap Rp 1.465.000,00
4. Hasil usaha per siklus (GI)
4.68.000 ekor x Rp 200,00 Rp 13.000.000,00
5. Keuntungan total per siklus
GI - (FC + VC) =
Rp 13.600. 000 - (Rp 2.750.000 + Rp 1.465.000) Rp 9.385.000,00
6. Hasil bersih per siklus (NI)
Keuntungan total - pajak (20 %) Rp 7.508.000,00

GI 13.600.000
7. BC Ratio = FC + VC = 2.750.000 + 465.000 = 3,2 (Layak)

Artinya, dengan mengeluarkan biaya 1 satuan akan diperoleh penerimaan sebesar 3,2 kali satuan.

GI 2.750.000
8. Titik impas (BEP) = VC = 1.465.000 =3.089.887
1 - GI 1 -13.600.000

Artinya, jika harga benih Rp 200,00/ekor, usaha pembenihan ini sudah mencapai titik impas ketika produksi benih barn 15.449 ekor.